Hubungan Indonesia dan Malaysia pada akhirnya mengalami titik terendah,
setelah dibukanya kembali hubungan diplomatik yang pernah terputus selama 5
tahun pada tahun 1967. Pada tahun 60-an, slogan GANYANG MALAYSIA adalah slogan
yang sangat popular bagi bangsa Indonesia ketika itu. Dan slogan ini muncul
kembali di seantero Indonesia, ketika Malaysia mendeklarasikan klaim sepihak
terhadap Ambalat, berdasar peta yang dibuatnya sendiri pada tahun 1979.
Para politikus maupun para ahli Hukum internasional menyatakan, bahwa
Malaysia terlalu ‘percaya diri’ karena telah berhasil ‘mencaplok’ pula Sipadan
dan Ligitan. Padahal kasus Ambalat sangat berbeda dengan kasus Sipadan dan
Ligitan. Keberadaan Malaysia secara terus menerus mengelola (defacto) Sipadan
dan Ligitan serta kemampuan mereka mengamankan ekologi kedua pulau tersebut,
menjadi pertimbangan Mahkamah Internasional memberikan kepemilikan kedua pulau
tersebut kepada Malaysia.
Terhadap kasus Ambalat, kejadiannya sangat berbeda. Indonesia telah secara
terus menerus mengklaim wilayah tersebut sejak zaman penjajah Belanda.
Indonesia adalah Negara Kepulauan (archipelagic state) Deklarasi Negara
Kepulauan ini telah dimulai ketika diterbitkan Deklarasi Djuanda tahun 1957,
lalu diikuti Prp No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi Negara
Kepulauan ini juga telah disahkan oleh The United Nations Convention on the Law
of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 Bagian IV. Isi deklarasi UNCLOS 1982 antara lain
‘di antara pulau-pulau Indonesia tidak ada laut bebas, dan sebagai Negara
Kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines) dari titik-titik
terluar pulau-pulau terluar. Malaysia bukanlah negara kepulauan, namun sebagai
negara pantai biasa yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal
baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat
tertentu dipenuhi. Oleh karena itu, Malaysia seharusnya tidak menyentuh
Ambalat, karena Malaysia hanya bisa menarik baselines dari Negara Bagian Sabah,
bukan dari pulau Sipadan dan Ligitan. Jika Malaysia berargumentasi ‘tiap pulau
berhak mempunyai laut territorial, zona ekonomi eksklusif dan landas
kontinennya sendiri’ , maka menurut UNCLOS pasal 121, hal itu dapat dibenarkan.
Namun rezim penetapan batas landas kontinen mempunyai specific rule yang
membuktikan keberadaan pulau-pulau yang relatively small, socially and
economically insignificant tidak akan dianggap sebagai special circumtation
dalam penentuan garis batas landas kontinen. Beberapa yurisprudensi hukum
internasional telah membuktikan dipakainya doktrin itu (Melda Kamil Ariadno).
Kasus Ambalat memang merupakan ujian berat bagi Indonesia dalam hubungannya
dengan Malaysia, negara serumpun yang selalu ‘berulah’. Kaya dan didukung oleh
negara persemakmuran (commonwealth), membuat Malaysia terlalu percaya diri.
Kasus TKI illegal, yang menurut ukuran moral Indonesia sangat memalukan, karena
Malaysia dinilai sadis, ringan tangan dan tak berperikemanusiaan serta
pencurian kayu (illegal logging) oleh cukong-cukong mereka, adalah contoh nyata
bahwa Malaysia sebenarnya ‘bukanlah negara jiran yang baik’.
Damai atau Perang
Malaysia mempunyai segala-galanya, uang, diplomasi dan militer yang cukup
tangguh. Kapanpun mereka butuh peralatan militer, mereka bisa membelinya secara
cash and carry, baik melalui pasaran resmi maupun gelap (ingat: Malaysia senang
dengan pemutihan illegal logging). Dari sisi diplomasi, Malaysia telah
membuktikan dirinya ‘mampu merebut pulau Sipadan dan Ligitan’ dari tangan
Indonesia. Dari sisi militer, Malaysia mempunyai kuantitas dan kualitas di atas
rata-rata yang dipunyai Indonesia. Di samping itu, sebagai anggota negara
persemakmuran (commonwealth), Malaysia kemungkinan akan mendapat bantuan
militer dari para anggota negara persemakmuran, karena di antara mereka ada
suatu traktat kerjasama militer, jika terjadi serangan kepada salah satu
anggotanya.
Indonesia sudah berulangkali meminta Malaysia untuk merundingkan batas
landas kontinen antar kedua negara, namun Malaysia tidak pernah menanggapinya
secara serius. Tawaran Indonesia tersebut diajukan karena Malaysia telah
membuat peta sepihak yang dibuat tahun 1979, yang jelas-jelas menyalahi hukum
internasional. Bisa jadi, diamnya Malaysia adalah menunggu saat yang tepat
untuk mengajukan klaim atas Ambalat, setelah pulau Sipadan dan Ligitan
‘direbut’. Sebagaimana dijelaskan dalam awal tulisan ini, UNCLOS sendiri
‘membenarkan’ klaim tersebut, walaupun masih harus dibarengi dengan beberapa
persyaratan. Rasa percaya diri yang tinggi atas kemenangan klaim Sipadan dan
Ligitan, membuat Malaysia mabuk kepayang, dan terkesan rakus. Perdana Menteri,
Wakil Perdana Menteri maupun Menteri Luar Negeri Malaysia mempunyai andil besar
dalam ragka pencaplokan Ambalat. Mereka bertiga secara bersama-sama selalu
menekankan bahwa mempertahankan kedaulatan territorial Malaysia adalah sangat
penting, dan kehadiran Menlu Malaysia ke Jakarta 9-10 Maret 2005 bukan untuk
bernegoisasi. Ini artinya mereka tak menghendaki jalan diplomasi (baca: damai).
Sebaliknya Indonesia, dengan bukti-bukti yang sangat kuat tak akan mungkin
mundur selangkah pun untuk mempertahankan Ambalat. Prof. Dimyathi Hartono,
pakar hukum internasional menyatakan bahwa secara yuridis, Indonesia, kali ini
lebih kuat kedudukannya, dibandingkan ketika bersengketa terhadap pulau Sipadan
dan Ligitan. Prof. Hasyim Jalal menyatakan bahwa blok Ambalat dan Ambalat Timur
yang diklaim Malaysia merupakan kelanjutan alamiah dari daratan Kalimantan
Timur. Antara Sabah Malaysia dengan kedua blok tersebut terdapat laut dalam
yang tak mungkin bisa dikatakan bahwa kedua blok itu kelanjutan alamiah Sabah.
Sedangkan kelanjutan alamiah dari daratan merupakan kewenangan negara atas
wilayah laut yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982.
Dengan demikian, Indonesia mempunyai posisi yuridis yang sangat kuat, dan bila
Malaysia tetap ngotot, maka jalan tengah yang paling baik adalah ke Mahkamah
Internasional Sikap Malaysia yang terkesan arogan, baik mengenai TKI, illegal
logging, maupun klaim Ambalat memicu emosi bangsa Indonesia, sehingga sejarah
ganyang Malaysia yang terjadi pada tahun 1963, terulang lagi. TNI pun sudah
siap untuk mempertahankan kesatuan NKRI. Bila terjadi perang, Malaysia harus
berpikir panjang. Indonesia cukup kenyang mengalaminya, yaitu selama 350 tahun,
walaupun menurut data, Malaysia mempunyai peralatan perang cukup canggih dengan
kuantita yang sangat signifikan. Perang tidak akan dapat diselesaikan dalam
waktu singkat, bisa sehari, namun juga bisa berpuluh tahun bahwa ratusan tahun.
Dalam hal perang gerilya, hanya ada dua negara di dunia yang ahli dalam bidang
itu, yaitu Indonesia dan Vietnam. Namun yang jelas, perang pasti akan merugikan
keduanya, baik dari segi materi, psikologi, maupun moral kedua bangsa. Oleh
karena itu, baik Malaysia maupun Indonesia harus mengedepankan upaya damai, dan
upaya damai bukan berarti mengalah. Damai dalam arti keduanya harus mengerti
benar tentang posisi masing-masing, baik dari segi yuridis (hukum internasional)
maupun moral Islam.
Adapun hikmah yang dapat dipetik terhadap peristiwa berurutan berkaitan
dengan sikap arogansi Malaysia adalah, bahwa bangsa Indonesia telah jatuh
‘marwahnya’ di mata internasional, khususnya di bidang ekonomi dan pertahanan
nasional, di samping korupsi yang semakin merajalela.
Dengan dasar itu, Malaysia dengan sangat berani menantang Indonesia,
apalagi setelah memperoleh kemenangan atas Sipadan dan Ligitan. Oleh karena
itu, Indonesia harus segera memprioritaskan, baik jangka pendek, menengah atau
panjang memperkuat pertahanan nasional, dengan cara memperbaharui persenjataan
TNI. Anggaran pertahanan yang semula sangat kecil, harus segera diperbesar,
mengingat luasnya cakupan area yang harus diamankan dan dipertahankan.
Penyelesaian Kasus Ambalat
Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirayuda sebelum pertemuan dengan
Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar pada 9 Maret 2005 mengatakan
perselisihan teritorial Indonesia dan Malaysia harus dilakukan melalui
perundingan damai dan mendesak Kuala Lumpur ”menghindarkan klaim sepihak dan
agresif” (Jakarta Post, 10 Maret 2005).
Lebih jauh lagi, Hasan Wirayuda mengatakan ”we urge Malaysia because
international law requires a border dispute to be solved through negotiations
and not through unilateral, aggressive claims”. Ungkapan Menteri Luar Negeri
kita tersebut terasa mewakili pengamatan dan perasaan bangsa Indonesia dari melihat
tingkah laku Malaysia dalam menangani masalah-masalah perbatasan negara.
Oleh karenanya, sangat diharapkan ungkapan Menteri Luar Negeri kita
tersebut sudah disampaikan kepada Menteri Luar Negeri Malaysia pada pertemuan
tanggal 9 Maret 2005. Pertemuan tersebut adalah realisasi hasil pembicaraan
Presiden RI dan Perdana Menteri Malaysia sesaat sebelum Presiden RI terbang ke
kawasan seng-keta.
Ketegangan yang terjadi di kawasan Ambalat, terpicu oleh klaim sepihak dan
agresif pihak Malaysia. Pekerja Indonesia yang sedang mengerjakan proyek menara
suar Departemen Perhubungan RI di karang Unarang disiksa oleh satuan Angkatan
Laut Malaysia. Klaim-klaim sepihak dan agresif terhadap batas wilayah negara
sudah dilakukan Malaysia mulai dari kasus Sipadan-Ligitan.
Sepihak dan
Agresif
Ketika wartawan Sinar Harapan mendarat di Pulau Sipadan tahun 1978
ditemukan menara suar yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1898
di pojok timur pulau itu masih berdiri, papan pembuatan dan kepemilikan mercu
suar terpampang. Tapi ketika kembali lagi mengunjungi Sipadan tahun 2001,
ternyata papan itu sudah tidak ada dan mercu suar kurang terawat (Sinar Harapan
16 Maret 2005).
Sipadan dan Ligitan mulai menjadi kasus teritorial tahun 1969. Setelah
tidak menemukan kesepakatan, kedua belah pihak sepakat menyatakan status quo.
Kedua negara dilarang mengelola kedua pulau tersebut. Namun diam-diam Malaysia
mengelola dua pulau tersebut sebagai pulau wisata, bahkan melakukan latihan
perang di Sipadan.
Kesepakatan status quo dilanggar oleh Malaysia. Protes Indonesia tidak
digubris.
Sengketa berlanjut, perundingan gagal, sampai akhirnya setelah pertemuan
Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Muhamad 31 Mei 1997
disepakati kasus Sipadan-Ligitan dibawa ke Mahkamah Internasional. Keputusan
membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional sangat merugikan Indonesia
karena pada 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional memutuskan Sipadan-Ligitan
masuk Malaysia.
Rupanya tidak boleh ada pulau kita, walaupun kecil, tetapi kosong, tidak
berpenduduk tidak ada organisasi RT (Rukun Tetangga), terutama di kawasan
perbatasan, walaupun ada menara suar dan jelas berada dalam batas negara
berdasarkan perjanjian perbatasan yang ada, karena dengan klaim sepihak dan
agresif dapat dimiliki oleh Malaysia. Sesuatu yang sulit diterima akal sehat.
Oleh karenanya, sangat diharapkan pada pertemuan antara Menteri Luar Negeri
RI dan Menteri Luar Negeri Malaysia, Menteri Luar Negeri kita sudah
menyampaikan kekecewaan Indonesia terhadap cara-cara mengklaim sepihak dan
agresif yang dilakukan Malaysia yang sudah bermula dari kasus Sipadan-Ligitan.
Penyelesaian
Menyeluruh
Penyampaian hal tersebut oleh Menteri Luar Negeri Indonesia akan sangat
tepat untuk dapat menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara secara
menyeluruh.
Apabila hal tersebut sudah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia maka
akan lebih mudah bersambung dalam pertemuan-pertemuan tim teknis dari kedua
belah pihak yang akan dimulai tanggal 22 Maret 2005.
Tanpa menghindari cara-cara buruk tersebut, kasus-kasus serupa akan
berlanjut terus dan berarti pertemuan-pertemuan tersebut tidak akan dapat
menyelesaikan masalah secara menyeluruh.
Oleh karena itu, di samping materi hukum, fakta, sejarah dan lain-lain yang
telah mantap, agenda atau isu utama dan pertama yang sebaiknya diangkat oleh
Indonesia dalam hal ini masalah pendekatan pertemuan yaitu pendekatan
penyelesaian menyeluruh (comprehensive settlement approach), bukan parsial.
Bahwa cara klaim sepihak dan agresif harus dihindari. Hal tersebut harus
disetujui terlebih dahulu.
Posisi Indonesia
Kondisi ekonomi Indonesia yang banyak dihubung-hubungkan dengan posisi
Indonesia dalam ketegangan antara Indonesia dan Malaysia, terutama oleh
penulis-penulis asing, yang cenderung bertendensi menurunkan nyali dan semangat
Indonesia berhadapan dengan Malaysia tidak lama lagi sudah akan dapat diatasi.
Dengan akan ditandatanganinya Rancangan Inpres Pemberdayaan Industri
Pelayaran, dalam waktu dekat dalam kurun waktu masa bakti Kabinet Indonesia
Bersatu, potensi kekuatan raksasa bidang maritim kita akan dapat segera
dikonversikan menjadi kekuatan keunggulan kompetitif nyata mempercepat
pemulihan ekonomi kita.
Mulusnya pengembangan industri pelayaran berasaskan cabotage akan berperan
sebagai multiplier effects terhadap pembangunan seluruh komponen industri
maritim lainya (galangan kapal, perikanan, pertamba-ngan lepas pantai,
pariwisata bahari, budi daya laut dan lain-lain) dan seluruh industri
penunjangnya.
Optimisme ini dapat diukur dari prestasi Sudarpo (Samudra Indonesia) yang
belum lama ini masuk dalam Maritime Hall of Fame. Namun beliau harus beroperasi
sebagai perusahaan pelayaran asing karena kebijaksanaan (peraturan) pemerintah
Indonesia justru mematikan perusahaan pelayaran nasional.
Dalam waktu relatif singkat setelah ditandatangani nanti Inpres tersebut,
kebijaksanaan yang mematikan itu akan hilang, kekuatan keunggulan komparatif
Indonesia di bidang maritim akan dapat segera dikonversi menjadi keunggulan
kompetitif, kekuatan memperkokoh dan mewujudkan laut sebagai tali kehidupan dan
masa depan bangsa berdasarkan kodrat dan karunia bangsa Indonesia. Who rules
the waves rules the world.
Perkiraan jumlah kerugian negara setiap tahun akibat tidak menerapkan asas
cabotage secara konsekuen dan salah urus sistem penjaga pantai, sangat
fantastis, US$ 40 miliar.
Dengan akan ditandatanganinya Inpres tersebut dan dibenahinya sistem penjaga
laut dan pantai, kerugian negara sebesar itu setiap tahunnya dapat segera
diatasi.
Keuntungan momentum Malaysia untuk memenangkan kasus Ambalat ini seperti saat
kasus Sipadan-Ligitan, rasanya sukar untuk didapat lagi saat ini dari kenyataan
Presiden RI saat ini langsung berkunjung ke kawasan sengketa.