Bismillah…
Apa kabar, kawan-kawan? Semoga selalu sehat yaaaaa J
Seperti yang kawan-kawan sekalian tahu, saya
jarang mengisi blog. Saya mulai menulis karena saya memiliki pemikiran, dengan
tulisan manfaatnya itu akan terus tersebar dan turun-menurun, apalagi kalau
disimpan di blog. Sehingga memudahkan semua orang untuk menemukannya.
Kalau ditanya, Witsqa punya gak sih bakat
menulis? Dengan tegas saya jawab, Tidak!
Namun, saya suka membagikan ilmu yang saya
punya. Supaya terus dan terus berkembang.
Nah suatu hari ada ajang lomba gitu, 30 orang
yang beruntung akan dimuat di buku hasil karya nya itu. Saya tidak berharap
banyak, namun taka da salahnya juga saya mencoba, iya kah? Yah. Rezeki mah Allah yang ngatur. Jikalau terpilih
Alhamdulillah, jikalau tidak ya tak apa J
Berikut adalah karangan yang saya kirimkan.
Kisah nyata loh ini… hihihi
“Pergi Untuk Kembali”
“Bertualanglah sejauh mata memandang. Mengayuhlah sejauh lautan
terbentang. Bergurulah sejauh alam terkembang.”, - Rantau 1 Muara, karya A.
Fuadi.
Tepat didepan wajahku, sayup-sayup
terdengar perkataan yang sedikit menggores hati, “Orang manja sepertimu mana
bisa?”. Opini tersebut sempat menghantuiku, hingga membuatku ingin memberikan
pembuktian untuk mematahkan prasangka tersebut. Namun, Astagfirullah, istigfar
sebanyak-banyaknya kuhaturkan, tak seharusnya niatku berbelok hanya karna hal
semacam itu. Ya, takut dan keraguan pun sempat menggoyahkan hati ini tepat
beberapa hari sebelum keberangkatanku ke dataran asing ini, Turki. Namun
kubulatkan tekad dan niat utamaku, yakni untuk meraih ridha Illahi, mencari
ilmu yang banyak dengan harapan ilmu yang kudapatkan itu bisa bermanfaat. Bukan
hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk khalayak. Aamiin.
Rantau. Tak kusangka kini aku adalah
seorang yang merantau. Hal yang tak pernah terbesit sedikit pun dalam benak ini
jikalau aku akan menjadi seorang perantau. Turki, tanpa ragu kubidikkan
rantauan pertamaku di negara dengan komposisi muslim yang cukup banyak ini.
İni adalah kali pertamaku dipisahkan
oleh dimensi jarak dan waktu dengan keluarga. Tak ada air mata sedikitpun yang
aku teteskan di detik-detik perpisahanku dengan keluarga. Bukan karena aku tak
merasakan kesedihan, namun aku tlah terikat janji dengan wanita yang senantiasa
membesarkanku tanpa pamrih itu, Ibu. Ya, aku berjanji takkan menangis di hari
kepergianku, aku akan meninggalkan keluargaku dengan senyuman dan tawa. İtu
janjiku. Dan, aku berhasil! Aku diberi nama Witsqa yang artinya wanita yang
kuat (hatinya), namun namaku tak sesuai dengan kenyataan di hari itu.
Sesungguhnya hari itu sangat menyesakkan dada. Sangat. Aku tahu tatapan
hangatnya, peluk cinta kasihnya, terselip kesedihan, kesukaran melepas putri
satu-satunya untuk pergi nun jauh ke sana. Hari itu pun terasa lain, kakak dan
adik laki-lakiku, seorang yang sangat dingin dan selalu menyembunyikan rasa
kepeduliannya masing-masing itu dengan tiba-tiba memelukku dengan erat, meski
aku tahu sebenarnya mereka melakukan hal tersebut dibawah paksaan tanteku,
namun itu sangat berarti bagiku. Aku berharap ini adalah perpisahan terindah.
Tunggu.. Aku akan kembali untuk kalian! J
“Merantaulah.. agar kamu tahu
bagaimana rasanya rindu dan kemana kau harus pulang.
Merantaulah..
engkau akan tahu betapa berharganya waktu bersama keluarga.
Merantaulah..
engkau akan mengerti alasan kenapa kau harus kembali.
Merantaulah..
akan tumbuh cinta yang tak pernah hadir sebelumnya, pada kampung halamanmu,
pada mereka yang kau tinggalkan.
Merantaulah..
engkau akan menghargai tiap detik waktu yang kamu lalui bersama ibu, bapak,
adik dan kakak, ketika kamu pulang ke rumah.
Merantaulah..
engkau akan lebih paham kenapa orang tuamu berat melepasmu pergi jauh.
Merantaulah..
engkau akan lebih mengerti arti sebuah perpisahan.
Merantaulah..
semakin jauh tanah rantauan, semakin jarang pulang, semakin terasa betapa
berharganya pulang.” – anonim.
Kalian tahu apa yang membuatku terkesima
dengan negara Turki ini? Disaat mereka sangat memfasilitasi orang-orang yang
cacat, tanpa mengurangi rasa penghormatan dan dengan rendah hatinya mereka
berkata, “Sarana prasana yang kami berikan untuk orang-orang yang cacat itu
belumlah banyak.”, Subhanallah, ini adalah sedikit catatan kecil yang kusimpan,
yang kuharap dapat diterapkan di Bumi Pertiwi.
Turki juga membuatku lebih berani
merangkai mimpi setinggi-tingginya, membuat mataku terbuka lebih lebar lagi,
lebih menatap kedepan dan memberikanku segala pengalaman yang sangat berharga
yang takkan mungkin kudapatkan jika aku tetap berdiri bersama keluargaku. Lucu.
Memalukan. Mengesalkan. Menyedihkan. Mengharukan. Semua tlah kulalui selama
lebih kurang 5 bulan ini.
Terimakasih Allah, berikan aku sebongkah
kebahagiaan yang tak mampu kuungkapkan dalam untaian kata-kata. Tak ada
sesuatupun yang aku ketahui selain ketentuan-Mu yang lebih indah dibandingkan
rencana-rencanaku.
Terimakasih Turki, izinkan aku rasakan
menjadi pejuang sesungguhnya. Ajarkan aku bagaimana caranya menyapa kehidupan
dengan penuh senyuman dan rasa syukur.
Ya, memang aku pergi ke Turki untuk kembali
ke Tanah Air tercinta. Tapi, bukan dengan tangan kosong. Nantikanku, aku akan
kembali membawa sejuta pelangi, sejuta senyum, dan sejuta manfaat. Bukan hanya
aku, tapi kami, seluruh pelajar dari seluruh penjuru dunia. Kami akan kembali
untuk memekarkan senyuman İndonesia tercinta. Tanah Air Jaya.
Langkahkan Kakimu Tanpa Ragu
“Bertualanglah sejauh mata memandang. Mengayuhlah sejauh lautan
terbentang. Bergurulah sejauh alam terkembang.”, - Rantau 1 Muara, karya A.
Fuadi.
Merantau
adalah kata yang mudah diucap, namun melaksanakannya, tak semudah
mengucapkannya. Membutuhkan persiapan mental dan fisik, juga pemikiran yang
matang. Siapkah kita jauh dari keluarga kita? Siapkah kita hidup di lingkungan
baru yang sama sekali tidak kita ketahui sebelumnya? Namun, ketika ridha orang
tua sudah ada di tanganmu, keberanian telah tumbuh di dadamu, janganlah ragu
untuk melangkah, merantau, untuk menggapai mimpi dan cita. Karena jika orang
tua telah memberikan ridha nya, insya Allah, Allah SWT pun memberikan ridha-Nya
untuk kita menuntut ilmu di jalan yang ia ridhai.
“Merantaulah.. agar kamu tahu
bagaimana rasanya rindu dan kemana kau harus pulang.
Merantaulah..
engkau akan tahu betapa berharganya waktu bersama keluarga.
Merantaulah..
engkau akan mengerti alasan kenapa kau harus kembali.
Merantaulah..
akan tumbuh cinta yang tak pernah hadir sebelumnya, pada kampung halamanmu,
pada mereka yang kau tinggalkan.
Merantaulah..
engkau akan menghargai tiap detik waktu yang kamu lalui bersama ibu, bapak,
adik dan kakak, ketika kamu pulang ke rumah.
Merantaulah..
engkau akan lebih paham kenapa orang tuamu berat melepasmu pergi jauh.
Merantaulah..
engkau akan lebih mengerti arti sebuah perpisahan.
Merantaulah..
semakin jauh tanah rantauan, semakin jarang pulang, semakin terasa betapa
berharganya pulang.” – anonim.
Kutipan
tersebut menjelaskan akan pentingnya merantau. Dengan merantau, kita akan lebih
mensyukuri segala apa yang telah kita miliki selama ini, menghargai kehadiran
sanak-saudara disekeliling kita, dan mendapatkan ilmu yang langka dan tak
ternilai harganya, yakni ilmu kehidupan. Hidup yang menjadi guru bisu yang
memberikan makna dan arti hidup yang sesungguhnya. Bukanlah kejayaan yang kau
kejar dari merantau, melainkan pengalaman yang akan menjadi guru terhebat
sepanjang masa.
Saya adalah
salah satu insan-Nya yang diberikan kesempatan untuk mendapatkan rezeki dan
mengemban amanah untuk melanjutkan studi ke Turki. Turki, negeri indah nan elok
yang kaya akan peninggalan sejarah islam ini adalah tanah asing pertama yang
saya injak. Kenyataan ini terasa seperti terlelap dalam mimpi yang indah,
teramat indah. Tak semua orang bisa mendapatkan kesempatan untuk menikmati
keindahan ciptaan-Nya di sisi bumi yang berlainan. Ya, kita memang berhak membuat
rencana, namun rencana Illahi-lah yang lebih indah.
Hidup
seketika berubah ketika saya memulai menjalani rutinitas di Turki. Bagaikan
kuncup bunga yang bermekaran. Setiap harinya selalu ada cerita baru yang
memberikan warna cerah dalam catatan hidup saya. Disini, setiap harinya saya
belajar. Belajar bagaimana menjaga diri dan mengontrol diri, karena tak ada
lagi orang tua yang senantiasa disisi yang selalu memberikan teori yang dikemas
dalam lontaran nasihat-nasihat setiap harinya. Disini adalah tempat saatnya
mengimplementasikan segala teori tersebut.
Dari Turki,
saya diizinkan untuk merasakan bagaimana rasanya merantau, bagaimana rasanya
merindu, bagaimana caranya bersabar, bagaimana seharusnya saya mensyukuri
nikmat, dan yang terpenting bagaimana hidup yang sebenar-benarnya hidup.
Ayo
kepakkan sayapmu, leburkan segala keraguanmu, melangkahlah.
Merantaulah,
dan rasakan sensasinya.
Oh iya, ini
adalah tiga hal yang cocok masuk kedalam kantung baju kita:
1.
Man
Jadda Wa Jadaa
Siapa yang
bersungguh-sungguh pasti akan berhasil
2.
Man
Shobaru Zhafira
Siapa yang
bersabar akan beruntung
3.
Man
Yazro Yahsud
Siapa yang
menanam, akan menuai yang ditanam
Jadikanlah
kediga hal tersebut modal hidup dan modal ketika kesulitan melanda
Agak sedikit rumpang,
hehehe. Tidak sedikit deh, buanyaaakkk. Dengan konsep yang sama saya membuat 2
buah tulisan yang diatas tersebut. Yang pertama lebih berbagi pengalaman nyata
dan yang kedua agak sedikit formal. Di detik-detik pengiriman berkas tersebut
barulah teringat, mengapa tidak membuat sesuatu yang berbeda. Yang lucu gitu.
Yah sayangnya tak banyak waktu yang saya punya. Secepat kilat, langsung saja
saya kirimkan. Hehehe.. Imajinasi lebay bin alay saat menulis belum
menghampiri. Jadinya begitu deh. Hihihi. Maaf ya, saya tranparan aja nih sama
readers sekalian.
Thanks to:
Mba Evi dan Kak Andika
yang udah ngasih tau dan ngajakin Witsqa buat ikutan ini J
Terima Kasih. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembacanya.
Kritik dan saran bisa dilampirkan J
Mohon maaf jika banyak
kesalahan dalam penulisan, karena tujuan saya hanya ingin sharing pengalaman.