Penyusun
: Ust Fajri Hidayat, Lc
1. T : Apakah Arti Puasa ? dan kapankah
waktunya ?
J : Puasa adalah Al-Imsak atau menahan diri
dari pembatal-pembatal puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya
matahari, dengan niat ibadah kepada Allah. (Shahih Fiqh Sunnah 2/87)
Dari pengertian tersebut, maka Waktu
Berpuasa dimulai dari : Fajar dan berakhir saat : Terbenamnya matahari.
Dalilnya adalah Firman Allah :
Makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam.” (Qs. al-Baqarah: 187)
2. T : Kapankah waktu terbaik untuk Sahur ?
J : Diakhir Waktu, menjelang Fajar terbit.
Dalilnya adalah :
َูุงَู ุฃَุตْุญَุงุจُ ู
ُุญَู
َّุฏٍ ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู
َู ุณََّูู
َ ุฃَุณْุฑَุนَ ุงَّููุงุณِ ุฅِْูุทَุงุฑًุง َูุฃَุจْุทَุฃَُูู
ْ ุณَุญُْูุฑًุง
Dahulu para sahabat Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling segera berbuka dan
paling lambat sahuur HR. Abdurrozaq di dalam Al-Mushonnaf 4/226, no. 7591;
dishahihkan oleh Al-Hafizh di dalam Al-Fath
3. T : Apakah ada syariat Imsak 10 menit
sebelum fajar yang beredar saat ini ?
J : Tidak ada. yang benar adalah waktu
imsak itu Fajar Shodiq atau Shubuh itu sendiri Dalilnya adalah Ayat dan Hadits
diatas.
4. T : Lantas bagaimana dengan Hadits ini :
Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhuma ia berkata :
”Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian kami berdiri untuk shalat. Maka saya (Anas) berkata : “Berapa lama
jarak antara adzan dan makan sahur?”. Ia (Zaid) menjawab : kira-kira bacaan
lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1921 dan
Muslim no. 1097]?
J : Yang dimaksud dua Adzan itu, adalah
Adzan Subuh & Iqomah sebagaimana yang dikatakan Oleh Asy-Syaikh Abdullah
bin Abdirrahman Aali Bassam dalam Taisirul-‘Allam Syarh ‘Umdatil-Ahkaam
(1/569-570 no. 177) bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah
iqamat. karena Iqamat disebut juga dengan adzan sebagaimana hadits :Dari
‘Abdullah bin Mughaffal Al-Muzanniy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Diantara dua adzan ada shalat – beliau
mengatakannya tiga kali – bagi siapa saja yang ingin melakukannya”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 624, Muslim no. 838, Ad-Daarimiy no. 1480,
dan Ibnu Hibbaan no. 1559-1561].
5. T :
Jika kita sedang Makan, lantas Fajar Shodiq menyingsing dengan Adzan
Subuh. Lantas apa yang kita lakukan ?
J : Menghentikan Makannya. Bahkan jika
Makanan ada dimulut. Hendaklah Kita muntahkan. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Anawawy dalam Al-Majmu’ : “Kami
katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka
hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya
padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama
sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. ( Al-Majmu’ Syarh
Al-Muhadzab : 6/312.
6. T : Lantas Bagimana dengan Hadits ini : Rosululloh
bersabda : “Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan
bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga
menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)” [Diriwayatkan oleh Ahmad no.
10637 dan Abu Dawud no. 2350 dengan sanad hasan; sebagaimana di hasankan oleh
oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jaami’ush-Shahiih 2/418-419]?
J : Maksud dari Adzan dalam Hadits tersebut
adalah Adzan Awal yang dikumandangkan Bilal untuk sahur. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Al-Imam Al-Baihaqy : adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut
adalah adzan sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih
boleh minum karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh (
Assunan Al-Kubro 4/218 )
7. T : Saat Bangun setelah Adzan Subuh, dan
dalam keadaan berjunub dan belum sempat Mandi Janabat, apakah harus
berpuasa, Padahal sudah niat malamnya?
J : Wajib berpuasa. Karena Nabi pernah
demikian. Dalilnya adalah : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki waktu
subuh, sementara beliau sedang junub karena berhubungan dengan istrinya.
Kemudian, beliau mandi dan berpuasa.” (H.R. Bukhari dan Turmudzi)
8. T : Jika Makan sahur dan Ragu-ragu sudah
masuk fajar atau belum. Dan ternyata sudah melewati. Apa yang harus dilakukan ?
J : “Apabila seseorang makan Sahur karena
Ragu-ragu waktu terbit matahari maka puasanya sah. Karena asalnya waktu
tersebut masih dihitung malam sampai dia yakin bahwa sudah masuk waktu fajar (
Shohih Fiqh Sunnah 2/105 )
9. T : Jika berbuka sebelum waktunya karena
ragu-ragu , apa yang harus dilakukan ?
J : Dalam Hal ini ulama berbeda pendapat,
namun Mayoritas ulama mengatakan bahwa puasanya batal & dia wajib Qodho ( lihat di Shohih Fiqh Sunnah 2/105 )
10. T : Lantas jika berbuka puasa disebelum
waktunya karena ketidak tahuan,
kesalahan Jadwal dan lain-lain?
J : Puasanya tetap sah, karena ketidak
tahuan, dan ini adalah pendapat yang terkuat ( lihat di Shohih Fiqh Sunnah 2/105 )
11. T : Apa yang harus kami dahulukan saat
berbuka. Berbuka dahulu atau Sholat Magrib dahulu ?
J : Dalam hal ini, lihat kondisi &
situasi. Contohnya Saat kita sangat
menginginkan Makan, maka yang terbaik adalah makan terlebih dahulu. Dalam
riwayat dikatakan : Suatu ketika dihidangkan makanan kepada Ibnu Umar,
sementara iqamah sudah dikumandangkan. Namun beliau tidak datang ke masjid,
hingga menyelesaikan makannya. Dan ketika makan, beliau mendengar bacaan imam.
(Bukhari secara Muallaq, 673).
12. T : Apa saja yang membatalkan puasa ?
J : Diantaranya adalah : makan atau minum
dengan sengaja, jima’ (bersetubuh), taqoyyu’ (berusaha muntah sehingga muntah),
berniat membatalkan puasa, haidh & nifas bagi wanita, murtad.
13. T : Apa yang terjadi jika melakukan hal
yang membatalkan Puasa tersebut ?
J : Puasanya Batal dan dia wajib men-qadha’
(mengganti) puasanya di luar bulan Ramadhan. Kecuali jima’, Maka dalam Jima’
disiang bulan Ramadhan ini ada ketentuannya, yaitu :
1.
Dia wajib membayar kaffaroh
berupa memerdekakan budak, bila tidak mampu maka dengan puasa dua bulan
berturut-turut, bila tidak mampu maka dengan memberi makan 60 fakir miskin, dan
Ibnu Hazm berpendapat dia tidak wajib mengganti puasanya. (Shahih Fiqh Sunnah
2/107-108)
2.
Kaffaroh jima’ harus ditunaikan
oleh suami dan istri, kecuali apabila istri dipaksa atau dia dalam keadaan
tidak berpuasa karena sakit atau hal lain.
3.
Bila jima’ di siang hari bulan
Ramadhan dilakukan berkali-kali di hari yang berbeda maka cukup membayar satu
kaffaroh saja. (Shahih Fiqh Sunnah 2/110)
14. T : Lantas bagaimana Orang yang
diperbolehkan tidak berpuasa, seperti Musafir Apakah boleh Berhubungan dengan
Istrinya ?
J : Boleh, dan ini adalah pendapat
kebanyakan ulama, diantaranya adalah : Al-Imam Asyafi’I dalam Al-Umm ( 2/62),
Al-Imam Malik dalam Al-Mudawanah 1/183 )
15. T : Siapa saja orang yang diperbolehkan
tidak berpuasa ?
J : Orang tua renta, orang yang sakit yang
sulit untuk sembuh. Maka baginya adalah : Fidyah. Tanpa perlu mengqodho. Dan
ini adalah pendapat jumhur ‘Ulama. Adapun Dalilnya surat Al-Baqoroh : 184
16. T : Lantas bagaimana dengan Wanita
hamil & menyusui ? Apakah Wajib Qodho & Fidyah ?
J : Para Ulama berselisih pendapat, Namun
yang paling Rojih ( kuat ) adalah bagi mereka berdua hanya membayar Fidyah
saja, tanpa Qodho. Adapun dalilnya adalah :
Perkataan Ibnu Abbas
“Engkau seperti orang tua yang tidak mampu
berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho’
gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.” (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no
7567, Adaruquthny 2/207, dengan sanad
yang shahih sebagaimana yang beliau katakan)
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh
Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
“Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang
Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar memerintahkan
putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari
yang ditinggalkan.” (HR Adaruquthny 2/207. Dishohihkan Al-Albany dalam Irwa’ul
Gholil, 4/20.)
17. T
: Apa saja yang tidak membatalkan Puasa ?
J : Diantaranya adalah :
1.
mencium dan mencumbu istri
selama tidak melakukan jima'.
2.
Diperbolehkan berkumur dan
istinsyaq (memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya) selama tidak
berlebihan (terlalu dalam).
3.
Mencicipi makanan dengan syarat
bila dibutuhkan, tidak berlebihan, serta tidak sampai masuk ke dalam
kerongkongan. Sebagaimana atsar dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anh (Ibnu Abi
Syaibah 3/47, Al Baihaqi 4/261. Lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/112-113)
4.
Diperbolehkan bersiwak meskipun
dengan pasta gigi selama tidak masuk ke dalam kerongkongan. (Shahih Fiqh Sunnah
2/117)
5.
Diperbolehkan membekam atau pun
dibekam, hadits yang menerangkan bahwa orang yang membekam dan dibekam batal
puasanya maknanya adalah Majas bukan hakikatnya (lihat Shahih Fiqh Sunnah
2/117)
6.
Diperbolehkan mendonorkan darah
karena hukumnya sama dengan bekam. (Shahih Fiqh Sunnah 2/113-114)
7.
Diperbolehkan menggunakan obat
tetes hidung dan mata selama tidak berlebihan dan tidak sampai masuk ke dalam
kerongkongan. (Masa-il Mu’ashiroh 448-453)
8.
Suntikan obat tidak membatalkan
puasa. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/257, Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/220,
keputusan Mujamma’ Fiqhi dalam Majallatul Mujamma’ al Fiqhi edisi 10 2/464.
Lihat Masa-il Mu’ashiroh 454)
9.
Suntikan yang dapat memberikan
tenaga seperti suntikan gizi atau infus membatalkan puasa. (Majmu’ Fatawa Ibnu
Baz 15/258, Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/219, keputusan Mujamma’ Fiqhi dalam
Majallatul Mujamma’ al Fiqhi edisi 10 2/464. Lihat Masa-il Mu’ashiroh 454-455)
10.
Diperbolehkan bagi wanita untuk
meminum obat pencegah haidh agar dapat melaksakan puasa secara penuh dan
memperbanyak ibadah selama Ramadhan, selama tidak membahayakan kesehatannya.
(Masa-il Mu’ashiroh 456-458)
11.
Diperbolehkan memakai celak dan
mencium wewangian. (Shahih Fiqh Sunnah 115-117)
18. T : Kapan waktu yang baik untuk berbuka
?
J : Diawal waktunya, sebagaimana yang
dikatakan oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam : “Manusia akan senantiasa
berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” HR. Bukhari no. 1957
dan Muslim no. 1098, dari Sahl bin Sa’ad
19. T : Ada berapakah Sholat Tarawih ?
J : Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr
Rahimahulloh mengatakan, “Sesungguhnya
shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam
adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik.
Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh
mengerjakan banyak.” At Tamhid, 21/70
20. T : Bolehkan jika Imam Sholat 23
Rokaat, kita hanya sholat 11 rokaat ?
J : Boleh, namun yang lebih Afdhol Sholat
bersama imam sampai selesai, sebagaimana Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi
wasallam Muhammad : “Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai,
ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu
Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450)
21. T : Bolehkan Sholat Tarawih dikerjakan
4 rokaat sekali salam ?
J : Tidak boleh, karena yang sunnah adalah
dua rokaat kemudian salam, dalilnya adalah : “Sholat malam adalah Dua rakaat –
dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat
witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)
22. T : Bolehkah Sholat Tahajud setelah
Sholat Tarawih ?
J : Boleh, Namun jika sudah witir saat
Tarawih. Maka jangan witir lagi saat Tahajjud. Dan dalam perkara ini, Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wasallam pernah melakukannya dalam riwayat dikatakan : “Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan
shalat 13 raka’at (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka’at
kemudian beliau berwitir (dengan 1 raka’at). Kemudian setelah berwitir, beliau
melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk. Jika ingin melakukan ruku’,
beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau membungkukkan badan untuk ruku’.
Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat
dua raka’at.” (HR. Muslim no. 738)
23. T : Lantas bagaimana dengan Hadits :
“Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)?
J : Menjadikan shalat witir sebagai penutup
shalat malam di sini dihukumi sunnah (dianjurkan) dan bukanlah wajib karena
terdapat dalil pemaling dari perbuatan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam
shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 395).
24. T : Apakah Amalan Utama dibulan
Ramadhan?
J :
1.
Puasa, dalilnya Al-Baqoroh :
183
2.
Sholat Tarawih, Dalilnya Hadits
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam “Barangsiapa yang shalat malam di bulan
Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, diampuni dosanya yang
telah lalu“. (Muttafaqun ‘alaih)
3.
Membaca Al-Qur’an, Dalilnya
Al-Baqoroh : 185
4.
Bersedekah, Dalilnya Hadits
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam : dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling
dermawan. Dan kedermawaan beliau akan bertambah pada bulan Ramadhan ketika
bertemu dengan Jibril. Beliau bertemu dengan Jibril setiap malam Ramadhan untuk
mempelajari Al-Qur’an, danร Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan dari hembusan angin (yakni sangat
mudah mengeluarkan sedekah).”ร (HR. Bukhari)
5.
Ittikaf & menghidupkan
Malam Lailatul Qodr. dalilnya adalah “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
beri’tikaf selama sepuluh hari setiap bulan Ramadhan, dan beri’tikaf selama dua
puluh hari pada tahun beliau wafat”. (HR. Bukhari)
6.
Umroh, dalilnya adalah : “Umrah
di bulan Ramadhan (pahalanya) menyerupai haji” (HR. Tirmidzi)
7.
Meninggalkan Maksiyat dan
hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasa.
25. T : Kapankah waktu membayar Zakat
Fithri ?
J : Zakat Fitri berhubungan dengan Idhul
Fitri, sehingga pembayarannya pun mendekati Idhul Fitri, “ Waktu utama (afdhol)
yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu
pelaksanaan shalat ‘ied.Waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum
‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar. (Lihat Fatawal Aqidah wa
Arkanil Islam, 640 & Minhajul Muslim, 231)
26. T : Bolehkah Zakat Fitri dengan
menggunakan uang ?
J : Zakat Fitri dibayar dengan menggunakan
makanan pokok, dan ini adalah pendapat Mayoritas ulama. Diantaranya adalah
Al-Imam An-Nawawi beliau mengatakan, “Tidak sah membayar zakat fitri dengan
mata uang menurut mazhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik,
Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Majmu 6/110)
27. T : Siapakah golongan yang menerima
zakat fitri ini ?
J : Para ulama berbeda pendapat, namun yang
paling kuat adalah : Yang berhak menerima Zakat Fitri ini hanyalah Orang miskin
& Faqir saja. Berlandaskan keterangan :
1.
Perkataan Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat
fitri … sebagai makanan bagi orang miskin ….” (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh
Syekh Al-Albani)
2.
Berkaitan dengan hadis ini,
Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri
hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin, bukan 6 golongan penerima zakat
lainnya.” (Nailul Authar, 2:7)
28. T : Bolehkah kita memberikan zakat
kepada Keluarga sendiri ?
J : Boleh, dengan catatan dia adalah orang
miskin dan bukan orang yang wajib kita nafkahi ( yaitu Istri, Orang tua &
Anak ) dalam Hadits dikatakan : Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam bersabda :
Zakat kepada orang miskin nilainya zakat biasa. Zakat kepada kerabat, nilainya
dua: zakat dan menyambung silaturahmi. (HR. Ahmad 16668, Nasai 2594, Turmudzi
660, dan yang lainnya).
29. T : Apakah boleh, membagikan Zakat
Fitri setelah Sholat Ied ?
J : Pembagian zakat fitri kepada yang
berhak, dilakukan sebelum Sholat Ied. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Kecuali jika memang tidak memungkinkan, boleh baginya untuk membagikan setelah
Sholat. Walohu A’lam (fatwa.islamweb.net nomor fatwa : 128120 )
30. T : Bolehkah Puasa Syawwal sebelum
Qodho Ramadhan ?
J : Ulama berselisih pendapat masalah ini,
Asyaikh Abu Malik Kamal mengatakan dalam kitabnya shohih Fiqh Sunnah :”
Diperbolehkan berpuasa 6 hari di bulan Syawwal sebelum Qodho Ramadhan. Apalagi
bagi orang yang kesempitan berpuasa Syawwal apabila menqodho Ramadhan” ( Shohih
Fiqh Sunnah 2/ 134)