Renungan buat para orang tua. Bukan
rangking dan prestasi di sekolah yg menjadi kebanggaan. Tapi tingkah laku dan
karakter yang penuh empati yang akan membawa anak kita pada kesuksesan hidup di
dunia dan di akhirat. Dan menjadi sebab mengalirnya amal yg tiada terputus buat
kedua orang tuanya. Sampai hari kiamat...
*ANAKKU YANG RANGKING KE-23*
Di kelasnya ada 25 orang murid, setiap
kenaikan kelas, anak perempuanku selalu mendapat ranking ke-23.
Lambat laun ia dijuluki dengan panggilan
nomor ini. Sebagai orangtua, kami merasa panggilan ini kurang enak didengar,
namun anehnya anak kami tidak merasa keberatan dengan panggilan ini.
Pada sebuah acara keluarga besar, kami
berkumpul bersama di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang adalah
tentang jagoan mereka masing-masing.
Anak-anak ditanya apa cita-cita mereka
kalau sudah besar? Ada yang menjawab jadi dokter, pilot, arsitek bahkan
presiden. Semua orangpun bertepuk tangan.
Anak perempuan kami terlihat sangat sibuk
membantu anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya
dia yang belum mengutarakan cita-citanya.
Didesak orang banyak, akhirnya dia
menjawab:
"Saat aku dewasa, cita-citaku yang
pertama adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu
bermain-main".
Demi menunjukkan kesopanan, semua orang
tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan apa cita-citanya yang kedua.
Diapun menjawab :
“Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan
kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan
cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat
bintang”.
Semua sanak keluarga saling pandang tanpa
tahu harus berkata apa. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali.
Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku
mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak
hanya menjadi seorang guru TK?
Anak kami sangat penurut, dia tidak lagi
membaca komik, tidak lagi membuat origami, tidak lagi banyak bermain.
Bagai seekor burung kecil yang kelelahan,
dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan
dikerjakan terus tanpa henti.
Sampai akhirnya tubuh kecilnya tidak bisa
bertahan lagi terserang flu berat dan radang paru-paru. Akan tetapi hasil ujian
semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja
rangking 23.
Kami memang sangat sayang pada anak kami
ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya.
Pada suatu minggu, teman-teman sekantor
mengajak pergi rekreasi bersama. Semua orang membawa serta keluarga mereka.
Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa, ada
anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan kebolehannya.
Anak kami tidak punya keahlian khusus,
hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira.
Dia sering kali lari ke belakang untuk
mengawasi bahan makanan.
Merapikan kembali kotak makanan yang
terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap
wadah sayuran yang meluap ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus
rumah tangga cilik.
Ketika makan, ada satu kejadian tak
terduga. Dua orang anak lelaki teman kami, satunya si jenius matematika,
satunya lagi ahli bahasa Inggris berebut sebuah kue.
Tiada seorang pun yang mau melepaskannya,
juga tidak mau saling membaginya. Para orang tua membujuk mereka, namun tak
berhasil.
Terakhir anak kamilah yang berhasil
melerainya dengan merayu mereka untuk berdamai.
Ketika pulang, jalanan macet. Anak-anak
mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang
semobil tertawa tanpa henti.
Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia
mengguntingkan berbagai bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan.
Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap
orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing. Mereka
terlihat begitu gembira.
Selepas ujian semester, aku menerima telpon
dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau rangking sekolah
anakku tetap 23.
Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang
terjadi. Hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun
mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu SIAPA TEMAN
SEKELAS YANG PALING KAMU KAGUMI & APA ALASANNYA.
Semua teman sekelasnya menuliskan nama :
ANAKKU!
Mereka bilang karena anakku sangat senang
membantu orang, selalu memberi semangat, selalu menghibur, selalu enak diajak
berteman, dan banyak lagi.
Si wali kelas memberi pujian: “Anak ibu ini
kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”.
Saya bercanda pada anakku, “Suatu saat kamu
akan jadi pahlawan”.
Anakku yang sedang merajut selendang leher
tiba-tiba menjawab :
“Bu guru pernah mengatakan sebuah pepatah,
ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”
.
*“IBU... AKU TIDAK MAU JADI PAHLAWAN... AKU
MAU JADI ORANG YANG BERTEPUK TANGAN DI TEPI JALAN”*
Aku terkejut mendengarnya. Dalam hatiku pun
terasa hangat seketika. Seketika hatiku tergugah oleh anak perempuanku.
Di dunia ini banyak orang yang bercita-cita
ingin menjadi seorang pahlawan. Namun Anakku memilih untuk menjadi orang yang
tidak terlihat. Seperti akar sebuah tanaman, tidak terlihat, tapi ialah yang
mengokohkan.
Jika ia bisa sehat, jika ia bisa hidup
dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hatinya, MENGAPA ANAK-ANAK
KITA TIDAK BOLEH MENJADI SEORANG BIASA YANG BERHATI BAIK & JUJUR…
Yukk...sayangi anak kita.
*Kisah ini untuk kalian semua yang kelak
akan menjadi calon ibu atau bapak dari anak-anak kita semua, dan yang menjadi
bapak maupun ibu...