Sabtu, 23 Maret 2013

Kasus Ambalat


Hubungan Indonesia dan Malaysia pada akhirnya mengalami titik terendah, setelah dibukanya kembali hubungan diplomatik yang pernah terputus selama 5 tahun pada tahun 1967. Pada tahun 60-an, slogan GANYANG MALAYSIA adalah slogan yang sangat popular bagi bangsa Indonesia ketika itu. Dan slogan ini muncul kembali di seantero Indonesia, ketika Malaysia mendeklarasikan klaim sepihak terhadap Ambalat, berdasar peta yang dibuatnya sendiri pada tahun 1979.
Para politikus maupun para ahli Hukum internasional menyatakan, bahwa Malaysia terlalu ‘percaya diri’ karena telah berhasil ‘mencaplok’ pula Sipadan dan Ligitan. Padahal kasus Ambalat sangat berbeda dengan kasus Sipadan dan Ligitan. Keberadaan Malaysia secara terus menerus mengelola (defacto) Sipadan dan Ligitan serta kemampuan mereka mengamankan ekologi kedua pulau tersebut, menjadi pertimbangan Mahkamah Internasional memberikan kepemilikan kedua pulau tersebut kepada Malaysia.
Terhadap kasus Ambalat, kejadiannya sangat berbeda. Indonesia telah secara terus menerus mengklaim wilayah tersebut sejak zaman penjajah Belanda. Indonesia adalah Negara Kepulauan (archipelagic state) Deklarasi Negara Kepulauan ini telah dimulai ketika diterbitkan Deklarasi Djuanda tahun 1957, lalu diikuti Prp No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi Negara Kepulauan ini juga telah disahkan oleh The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 Bagian IV. Isi deklarasi UNCLOS 1982 antara lain ‘di antara pulau-pulau Indonesia tidak ada laut bebas, dan sebagai Negara Kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar. Malaysia bukanlah negara kepulauan, namun sebagai negara pantai biasa yang hanya boleh memakai garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (straight baselines) jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Oleh karena itu, Malaysia seharusnya tidak menyentuh Ambalat, karena Malaysia hanya bisa menarik baselines dari Negara Bagian Sabah, bukan dari pulau Sipadan dan Ligitan. Jika Malaysia berargumentasi ‘tiap pulau berhak mempunyai laut territorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya sendiri’ , maka menurut UNCLOS pasal 121, hal itu dapat dibenarkan. Namun rezim penetapan batas landas kontinen mempunyai specific rule yang membuktikan keberadaan pulau-pulau yang relatively small, socially and economically insignificant tidak akan dianggap sebagai special circumtation dalam penentuan garis batas landas kontinen. Beberapa yurisprudensi hukum internasional telah membuktikan dipakainya doktrin itu (Melda Kamil Ariadno).
Kasus Ambalat memang merupakan ujian berat bagi Indonesia dalam hubungannya dengan Malaysia, negara serumpun yang selalu ‘berulah’. Kaya dan didukung oleh negara persemakmuran (commonwealth), membuat Malaysia terlalu percaya diri. Kasus TKI illegal, yang menurut ukuran moral Indonesia sangat memalukan, karena Malaysia dinilai sadis, ringan tangan dan tak berperikemanusiaan serta pencurian kayu (illegal logging) oleh cukong-cukong mereka, adalah contoh nyata bahwa Malaysia sebenarnya ‘bukanlah negara jiran yang baik’.

Damai atau Perang
Malaysia mempunyai segala-galanya, uang, diplomasi dan militer yang cukup tangguh. Kapanpun mereka butuh peralatan militer, mereka bisa membelinya secara cash and carry, baik melalui pasaran resmi maupun gelap (ingat: Malaysia senang dengan pemutihan illegal logging). Dari sisi diplomasi, Malaysia telah membuktikan dirinya ‘mampu merebut pulau Sipadan dan Ligitan’ dari tangan Indonesia. Dari sisi militer, Malaysia mempunyai kuantitas dan kualitas di atas rata-rata yang dipunyai Indonesia. Di samping itu, sebagai anggota negara persemakmuran (commonwealth), Malaysia kemungkinan akan mendapat bantuan militer dari para anggota negara persemakmuran, karena di antara mereka ada suatu traktat kerjasama militer, jika terjadi serangan kepada salah satu anggotanya.
Indonesia sudah berulangkali meminta Malaysia untuk merundingkan batas landas kontinen antar kedua negara, namun Malaysia tidak pernah menanggapinya secara serius. Tawaran Indonesia tersebut diajukan karena Malaysia telah membuat peta sepihak yang dibuat tahun 1979, yang jelas-jelas menyalahi hukum internasional. Bisa jadi, diamnya Malaysia adalah menunggu saat yang tepat untuk mengajukan klaim atas Ambalat, setelah pulau Sipadan dan Ligitan ‘direbut’. Sebagaimana dijelaskan dalam awal tulisan ini, UNCLOS sendiri ‘membenarkan’ klaim tersebut, walaupun masih harus dibarengi dengan beberapa persyaratan. Rasa percaya diri yang tinggi atas kemenangan klaim Sipadan dan Ligitan, membuat Malaysia mabuk kepayang, dan terkesan rakus. Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri maupun Menteri Luar Negeri Malaysia mempunyai andil besar dalam ragka pencaplokan Ambalat. Mereka bertiga secara bersama-sama selalu menekankan bahwa mempertahankan kedaulatan territorial Malaysia adalah sangat penting, dan kehadiran Menlu Malaysia ke Jakarta 9-10 Maret 2005 bukan untuk bernegoisasi. Ini artinya mereka tak menghendaki jalan diplomasi (baca: damai).
Sebaliknya Indonesia, dengan bukti-bukti yang sangat kuat tak akan mungkin mundur selangkah pun untuk mempertahankan Ambalat. Prof. Dimyathi Hartono, pakar hukum internasional menyatakan bahwa secara yuridis, Indonesia, kali ini lebih kuat kedudukannya, dibandingkan ketika bersengketa terhadap pulau Sipadan dan Ligitan. Prof. Hasyim Jalal menyatakan bahwa blok Ambalat dan Ambalat Timur yang diklaim Malaysia merupakan kelanjutan alamiah dari daratan Kalimantan Timur. Antara Sabah Malaysia dengan kedua blok tersebut terdapat laut dalam yang tak mungkin bisa dikatakan bahwa kedua blok itu kelanjutan alamiah Sabah. Sedangkan kelanjutan alamiah dari daratan merupakan kewenangan negara atas wilayah laut yang tercantum dalam Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982. Dengan demikian, Indonesia mempunyai posisi yuridis yang sangat kuat, dan bila Malaysia tetap ngotot, maka jalan tengah yang paling baik adalah ke Mahkamah Internasional Sikap Malaysia yang terkesan arogan, baik mengenai TKI, illegal logging, maupun klaim Ambalat memicu emosi bangsa Indonesia, sehingga sejarah ganyang Malaysia yang terjadi pada tahun 1963, terulang lagi. TNI pun sudah siap untuk mempertahankan kesatuan NKRI. Bila terjadi perang, Malaysia harus berpikir panjang. Indonesia cukup kenyang mengalaminya, yaitu selama 350 tahun, walaupun menurut data, Malaysia mempunyai peralatan perang cukup canggih dengan kuantita yang sangat signifikan. Perang tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu singkat, bisa sehari, namun juga bisa berpuluh tahun bahwa ratusan tahun. Dalam hal perang gerilya, hanya ada dua negara di dunia yang ahli dalam bidang itu, yaitu Indonesia dan Vietnam. Namun yang jelas, perang pasti akan merugikan keduanya, baik dari segi materi, psikologi, maupun moral kedua bangsa. Oleh karena itu, baik Malaysia maupun Indonesia harus mengedepankan upaya damai, dan upaya damai bukan berarti mengalah. Damai dalam arti keduanya harus mengerti benar tentang posisi masing-masing, baik dari segi yuridis (hukum internasional) maupun moral Islam.
Adapun hikmah yang dapat dipetik terhadap peristiwa berurutan berkaitan dengan sikap arogansi Malaysia adalah, bahwa bangsa Indonesia telah jatuh ‘marwahnya’ di mata internasional, khususnya di bidang ekonomi dan pertahanan nasional, di samping korupsi yang semakin merajalela.
Dengan dasar itu, Malaysia dengan sangat berani menantang Indonesia, apalagi setelah memperoleh kemenangan atas Sipadan dan Ligitan. Oleh karena itu, Indonesia harus segera memprioritaskan, baik jangka pendek, menengah atau panjang memperkuat pertahanan nasional, dengan cara memperbaharui persenjataan TNI. Anggaran pertahanan yang semula sangat kecil, harus segera diperbesar, mengingat luasnya cakupan area yang harus diamankan dan dipertahankan.

Penyelesaian Kasus Ambalat

Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirayuda sebelum pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar pada 9 Maret 2005 mengatakan perselisihan teritorial Indonesia dan Malaysia harus dilakukan melalui perundingan damai dan mendesak Kuala Lumpur ”menghindarkan klaim sepihak dan agresif” (Jakarta Post, 10 Maret 2005).
Lebih jauh lagi, Hasan Wirayuda mengatakan ”we urge Malaysia because international law requires a border dispute to be solved through negotiations and not through unilateral, aggressive claims”. Ungkapan Menteri Luar Negeri kita tersebut terasa mewakili pengamatan dan perasaan bangsa Indonesia dari melihat tingkah laku Malaysia dalam menangani masalah-masalah perbatasan negara.
Oleh karenanya, sangat diharapkan ungkapan Menteri Luar Negeri kita tersebut sudah disampaikan kepada Menteri Luar Negeri Malaysia pada pertemuan tanggal 9 Maret 2005. Pertemuan tersebut adalah realisasi hasil pembicaraan Presiden RI dan Perdana Menteri Malaysia sesaat sebelum Presiden RI terbang ke kawasan seng-keta.
Ketegangan yang terjadi di kawasan Ambalat, terpicu oleh klaim sepihak dan agresif pihak Malaysia. Pekerja Indonesia yang sedang mengerjakan proyek menara suar Departemen Perhubungan RI di karang Unarang disiksa oleh satuan Angkatan Laut Malaysia. Klaim-klaim sepihak dan agresif terhadap batas wilayah negara sudah dilakukan Malaysia mulai dari kasus Sipadan-Ligitan.
Sepihak dan Agresif
Ketika wartawan Sinar Harapan mendarat di Pulau Sipadan tahun 1978 ditemukan menara suar yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1898 di pojok timur pulau itu masih berdiri, papan pembuatan dan kepemilikan mercu suar terpampang. Tapi ketika kembali lagi mengunjungi Sipadan tahun 2001, ternyata papan itu sudah tidak ada dan mercu suar kurang terawat (Sinar Harapan 16 Maret 2005).
Sipadan dan Ligitan mulai menjadi kasus teritorial tahun 1969. Setelah tidak menemukan kesepakatan, kedua belah pihak sepakat menyatakan status quo. Kedua negara dilarang mengelola kedua pulau tersebut. Namun diam-diam Malaysia mengelola dua pulau tersebut sebagai pulau wisata, bahkan melakukan latihan perang di Sipadan.
Kesepakatan status quo dilanggar oleh Malaysia. Protes Indonesia tidak digubris.
Sengketa berlanjut, perundingan gagal, sampai akhirnya setelah pertemuan Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Muhamad 31 Mei 1997 disepakati kasus Sipadan-Ligitan dibawa ke Mahkamah Internasional. Keputusan membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional sangat merugikan Indonesia karena pada 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional memutuskan Sipadan-Ligitan masuk Malaysia.
Rupanya tidak boleh ada pulau kita, walaupun kecil, tetapi kosong, tidak berpenduduk tidak ada organisasi RT (Rukun Tetangga), terutama di kawasan perbatasan, walaupun ada menara suar dan jelas berada dalam batas negara berdasarkan perjanjian perbatasan yang ada, karena dengan klaim sepihak dan agresif dapat dimiliki oleh Malaysia. Sesuatu yang sulit diterima akal sehat.
Oleh karenanya, sangat diharapkan pada pertemuan antara Menteri Luar Negeri RI dan Menteri Luar Negeri Malaysia, Menteri Luar Negeri kita sudah menyampaikan kekecewaan Indonesia terhadap cara-cara mengklaim sepihak dan agresif yang dilakukan Malaysia yang sudah bermula dari kasus Sipadan-Ligitan.
Penyelesaian Menyeluruh
Penyampaian hal tersebut oleh Menteri Luar Negeri Indonesia akan sangat tepat untuk dapat menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara secara menyeluruh.
Apabila hal tersebut sudah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia maka akan lebih mudah bersambung dalam pertemuan-pertemuan tim teknis dari kedua belah pihak yang akan dimulai tanggal 22 Maret 2005.
Tanpa menghindari cara-cara buruk tersebut, kasus-kasus serupa akan berlanjut terus dan berarti pertemuan-pertemuan tersebut tidak akan dapat menyelesaikan masalah secara menyeluruh.
Oleh karena itu, di samping materi hukum, fakta, sejarah dan lain-lain yang telah mantap, agenda atau isu utama dan pertama yang sebaiknya diangkat oleh Indonesia dalam hal ini masalah pendekatan pertemuan yaitu pendekatan penyelesaian menyeluruh (comprehensive settlement approach), bukan parsial. Bahwa cara klaim sepihak dan agresif harus dihindari. Hal tersebut harus disetujui terlebih dahulu.


Posisi Indonesia
Kondisi ekonomi Indonesia yang banyak dihubung-hubungkan dengan posisi Indonesia dalam ketegangan antara Indonesia dan Malaysia, terutama oleh penulis-penulis asing, yang cenderung bertendensi menurunkan nyali dan semangat Indonesia berhadapan dengan Malaysia tidak lama lagi sudah akan dapat diatasi.
Dengan akan ditandatanganinya Rancangan Inpres Pemberdayaan Industri Pelayaran, dalam waktu dekat dalam kurun waktu masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu, potensi kekuatan raksasa bidang maritim kita akan dapat segera dikonversikan menjadi kekuatan keunggulan kompetitif nyata mempercepat pemulihan ekonomi kita.
Mulusnya pengembangan industri pelayaran berasaskan cabotage akan berperan sebagai multiplier effects terhadap pembangunan seluruh komponen industri maritim lainya (galangan kapal, perikanan, pertamba-ngan lepas pantai, pariwisata bahari, budi daya laut dan lain-lain) dan seluruh industri penunjangnya.
Optimisme ini dapat diukur dari prestasi Sudarpo (Samudra Indonesia) yang belum lama ini masuk dalam Maritime Hall of Fame. Namun beliau harus beroperasi sebagai perusahaan pelayaran asing karena kebijaksanaan (peraturan) pemerintah Indonesia justru mematikan perusahaan pelayaran nasional.
Dalam waktu relatif singkat setelah ditandatangani nanti Inpres tersebut, kebijaksanaan yang mematikan itu akan hilang, kekuatan keunggulan komparatif Indonesia di bidang maritim akan dapat segera dikonversi menjadi keunggulan kompetitif, kekuatan memperkokoh dan mewujudkan laut sebagai tali kehidupan dan masa depan bangsa berdasarkan kodrat dan karunia bangsa Indonesia. Who rules the waves rules the world.
Perkiraan jumlah kerugian negara setiap tahun akibat tidak menerapkan asas cabotage secara konsekuen dan salah urus sistem penjaga pantai, sangat fantastis, US$ 40 miliar.
Dengan akan ditandatanganinya Inpres tersebut dan dibenahinya sistem penjaga laut dan pantai, kerugian negara sebesar itu setiap tahunnya dapat segera diatasi.
Keuntungan momentum Malaysia untuk memenangkan kasus Ambalat ini seperti saat kasus Sipadan-Ligitan, rasanya sukar untuk didapat lagi saat ini dari kenyataan Presiden RI saat ini langsung berkunjung ke kawasan sengketa.