Senin, 18 Mei 2015

Fakta Dibalik Mengapa Kita Harus Menghabiskan Uang Untuk Membeli Pengalaman, Bukan Barang

BY AHIMSA AFRIZAL · 7 APRIL 2015

Kita tidak punya uang yang tidak terbatas, gunakan untuk hal yang memberikan makna

Semua orang mencari kebahagiaan. Kebahagiaan sering dijadikan indikator terbaik untuk mengukur kesejahteraan. Kita juga tahu bahwa uang bisa memberikan kebahagiaan, walaupun ketika kebutuhan dasar kita sudah terpenuhi, uang tidak bisa membuat kita lebih bahagia lagi. Namun, pertanyaan yang paling sering ditanyakan adalah, bagaimana sih  cara mengatur uang, apalagi kebanyakan dari kita tidak mempunyai uang yang tak terbatas.

Ada asumsi logis yang mengatakan, bahwa dengan membeli barang-barang akan membuat kita lebih bahagia, karena barang bisa bertahan lama, tidak seperti nonton konser ataupun traveling yang hanya sekali dirasakan lalu hanya tinggal kenangan. Tapi tahukah kamu? Riset terbaru mengatakan sebaliknya lho!

Menurut Dr. Thomas Gilovich, profesor psikologi di Cornell University, musuh bebuyutan adalah adaptasi. Pernah nggak kamu merasa bahagia banget ketika beli Smartphone baru, lalu dua bulan kemudian mulai merasa biasa? Ya, diri kita mulai beradaptasi dengan barang baru, dan kita mulai merasa biasa.

Jadi, daripada dihabiskan untuk beli barang, Dr. Gilovich menyarankan agar kita mengalokasikan uang untuk membeli pengalaman, seperti pergi ke galeri seni, nonton pertunjukan teater, belajar hal baru, kegiatan outdoor, atau traveling!

Penelitian Dr. Gilovich menyatakan, bahwa uang memang bisa membeli kebahagiaan, namun hanya pada level tertentu. Ketika adaptasi mulai berjalan, maka kebahagiaan itu akan berkurang. Penelitian tersebut juga mengukur tingkat kebahagiaan pengalaman baru, yang justru tetap dan cenderung meningkat.

Barang-barang materi memang milik kita, namun dia bukan bagian dari kita. Kenangan dan pengalaman justru menjelma menjadi bagian dari diri kita pribadi. Contoh : Sehabis kita traveling, kita akan senang hati menceritakan kepada orang lain, dan dengan bangga memamerkannya, bahkan ketika pengalaman itu sudah 10 tahun yang lalu. Pengalaman menjelma menjadi diri kita sendiri. Kita saat ini adalah gabungan dari pengalaman-pengalaman kita di masa lampau.

Bahkan apabila kita punya pengalaman buruk di masa lampau. Ketika menceritakan hal itu sekarang, bayangan pengalaman buruk itu akan berkurang. Kebodohan masa lalu bisa menjadi cerita unik dan lucu saat ini.


boston.com
Pengalaman yang kita bagi bersama orang lain juga lebih mempererat hubungan kita dengan orang lain, dibandingkan membeli barang yang digunakan bersama-sama. Kita lebih merasa dekat dengan teman yang kita ajak jalan-jalan ke Bromo, misal, daripada teman yang urunan untuk beli TV dan ditonton bersama.

“Kita secara langsung merasakan pengalaman dengan orang lain, dan setelah pengalaman itu pergi, masih ada bagian pengalaman yang bisa kita ceritakan”, kata Dr. Gilovich.

Bahkan ketika kita tidak merasakan pengalaman itu bersamaan, kita akan merasakan ikatan  yag lebih kuat dengan orang-orang yang pernah merasakan pengalaman yang sama. Misalkan ketika kita bertemu dengan orang yang sama-sama pernah snorkeling di Gili Labak, akan lebih terasa dekat dibandingkan apabila kita sama-sama punya Ipad keluaran terbaru.

Suka membanding-bandingkan barang dengan orang lain? Selain merupakan hal yang tidak baik, membandingkan barang hanya akan membuat kita kurang bahagia. Pengalaman yang sama, menurut penelitian lebih sedikit dibandingkan daripada barang. Karena pengalaman lebih sulit dibandngkan daripada barang.

Memang jika ada yang pamer ketika traveling, dan tinggal di hotel yang lebih bagus, akan mengganggu kita juga. Tapi kecemburuan itu tidak lebih besar dibandingkan dengan apabila kita membicarakan barang