Kamis, 08 September 2016

TANYA JAWAB BEKAL ILMU MENGHADAPI RAMADHAN


Penyusun  : Ust Fajri Hidayat, Lc

1. T : Apakah Arti Puasa ? dan kapankah waktunya ?
J : Puasa adalah Al-Imsak atau menahan diri dari pembatal-pembatal puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, dengan niat ibadah kepada Allah. (Shahih Fiqh Sunnah 2/87)
Dari pengertian tersebut, maka Waktu Berpuasa dimulai dari : Fajar dan berakhir saat : Terbenamnya matahari. Dalilnya adalah Firman Allah :
Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (Qs. al-Baqarah: 187)

2. T : Kapankah waktu terbaik untuk Sahur ?
J : Diakhir Waktu, menjelang Fajar terbit. Dalilnya adalah :
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَسْرَعَ النَّاسِ إِفْطَارًا وَأَبْطَأَهُمْ سَحُوْرًا
Dahulu para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling segera berbuka dan paling lambat sahuur HR. Abdurrozaq di dalam Al-Mushonnaf 4/226, no. 7591; dishahihkan oleh Al-Hafizh di dalam Al-Fath

3. T : Apakah ada syariat Imsak 10 menit sebelum fajar yang beredar saat ini ?
J : Tidak ada. yang benar adalah waktu imsak itu Fajar Shodiq atau Shubuh itu sendiri Dalilnya adalah Ayat dan Hadits diatas.

4. T : Lantas bagaimana dengan Hadits ini : Dari Anas bin Malik dari Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : ”Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami berdiri untuk shalat. Maka saya (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur?”. Ia (Zaid) menjawab : kira-kira bacaan lima puluh ayat dari Al-Qur’an)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097]?
J : Yang dimaksud dua Adzan itu, adalah Adzan Subuh & Iqomah sebagaimana yang dikatakan Oleh Asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Aali Bassam dalam Taisirul-‘Allam Syarh ‘Umdatil-Ahkaam (1/569-570 no. 177) bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah iqamat. karena Iqamat disebut juga dengan adzan sebagaimana hadits :Dari ‘Abdullah bin Mughaffal Al-Muzanniy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Diantara dua adzan ada shalat – beliau mengatakannya tiga kali – bagi siapa saja yang ingin melakukannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 624, Muslim no. 838, Ad-Daarimiy no. 1480, dan Ibnu Hibbaan no. 1559-1561].

5. T :  Jika kita sedang Makan, lantas Fajar Shodiq menyingsing dengan Adzan Subuh. Lantas apa yang kita lakukan ?
J : Menghentikan Makannya. Bahkan jika Makanan ada dimulut. Hendaklah Kita muntahkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Anawawy dalam Al-Majmu’ : “Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. ( Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab : 6/312.

6. T : Lantas Bagimana dengan Hadits ini : Rosululloh bersabda : “Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)” [Diriwayatkan oleh Ahmad no. 10637 dan Abu Dawud no. 2350 dengan sanad hasan; sebagaimana di hasankan oleh oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jaami’ush-Shahiih 2/418-419]?
J : Maksud dari Adzan dalam Hadits tersebut adalah Adzan Awal yang dikumandangkan Bilal untuk sahur. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Baihaqy : adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah adzan sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh minum karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh ( Assunan Al-Kubro 4/218 )

7. T : Saat Bangun setelah Adzan Subuh, dan dalam keadaan berjunub dan belum sempat Mandi Janabat, apakah harus berpuasa,  Padahal sudah niat malamnya?
J : Wajib berpuasa. Karena Nabi pernah demikian. Dalilnya adalah : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki waktu subuh, sementara beliau sedang junub karena berhubungan dengan istrinya. Kemudian, beliau mandi dan berpuasa.” (H.R. Bukhari dan Turmudzi)

8. T : Jika Makan sahur dan Ragu-ragu sudah masuk fajar atau belum. Dan ternyata sudah melewati. Apa yang harus dilakukan ?
J : “Apabila seseorang makan Sahur karena Ragu-ragu waktu terbit matahari maka puasanya sah. Karena asalnya waktu tersebut masih dihitung malam sampai dia yakin bahwa sudah masuk waktu fajar ( Shohih Fiqh Sunnah 2/105 )

9. T : Jika berbuka sebelum waktunya karena ragu-ragu , apa yang harus dilakukan ?
J : Dalam Hal ini ulama berbeda pendapat, namun Mayoritas ulama mengatakan bahwa puasanya batal &  dia wajib Qodho ( lihat di  Shohih Fiqh Sunnah 2/105 )

10. T : Lantas jika berbuka puasa disebelum waktunya karena ketidak tahuan,  kesalahan Jadwal dan lain-lain?
J : Puasanya tetap sah, karena ketidak tahuan, dan ini adalah pendapat yang terkuat ( lihat di  Shohih Fiqh Sunnah 2/105 )

11. T : Apa yang harus kami dahulukan saat berbuka. Berbuka dahulu atau Sholat Magrib dahulu ?
J : Dalam hal ini, lihat kondisi & situasi. Contohnya  Saat kita sangat menginginkan Makan, maka yang terbaik adalah makan terlebih dahulu. Dalam riwayat dikatakan : Suatu ketika dihidangkan makanan kepada Ibnu Umar, sementara iqamah sudah dikumandangkan. Namun beliau tidak datang ke masjid, hingga menyelesaikan makannya. Dan ketika makan, beliau mendengar bacaan imam. (Bukhari secara Muallaq, 673).

12. T : Apa saja yang membatalkan puasa ?
J : Diantaranya adalah : makan atau minum dengan sengaja, jima’ (bersetubuh), taqoyyu’ (berusaha muntah sehingga muntah), berniat membatalkan puasa, haidh & nifas bagi wanita, murtad.

13. T : Apa yang terjadi jika melakukan hal yang membatalkan Puasa tersebut ?
J : Puasanya Batal dan dia wajib men-qadha’ (mengganti) puasanya di luar bulan Ramadhan. Kecuali jima’, Maka dalam Jima’ disiang bulan Ramadhan ini ada ketentuannya, yaitu :
1.       Dia wajib membayar kaffaroh berupa memerdekakan budak, bila tidak mampu maka dengan puasa dua bulan berturut-turut, bila tidak mampu maka dengan memberi makan 60 fakir miskin, dan Ibnu Hazm berpendapat dia tidak wajib mengganti puasanya. (Shahih Fiqh Sunnah 2/107-108)
2.       Kaffaroh jima’ harus ditunaikan oleh suami dan istri, kecuali apabila istri dipaksa atau dia dalam keadaan tidak berpuasa karena sakit atau hal lain.
3.       Bila jima’ di siang hari bulan Ramadhan dilakukan berkali-kali di hari yang berbeda maka cukup membayar satu kaffaroh saja. (Shahih Fiqh Sunnah 2/110)

14. T : Lantas bagaimana Orang yang diperbolehkan tidak berpuasa, seperti Musafir Apakah boleh Berhubungan dengan Istrinya ?
J : Boleh, dan ini adalah pendapat kebanyakan ulama, diantaranya adalah : Al-Imam Asyafi’I dalam Al-Umm ( 2/62), Al-Imam Malik dalam Al-Mudawanah 1/183 )

15. T : Siapa saja orang yang diperbolehkan tidak berpuasa ?
J : Orang tua renta, orang yang sakit yang sulit untuk sembuh. Maka baginya adalah : Fidyah. Tanpa perlu mengqodho. Dan ini adalah pendapat jumhur ‘Ulama. Adapun Dalilnya surat Al-Baqoroh : 184

16. T : Lantas bagaimana dengan Wanita hamil & menyusui ? Apakah Wajib Qodho & Fidyah ?
J : Para Ulama berselisih pendapat, Namun yang paling Rojih ( kuat ) adalah bagi mereka berdua hanya membayar Fidyah saja, tanpa Qodho. Adapun dalilnya adalah :
Perkataan Ibnu Abbas 
 “Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.” (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no 7567, Adaruquthny 2/207,  dengan sanad yang shahih sebagaimana yang beliau katakan)
Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu ‘Umar. Dari Nafi’, dia berkata,
 “Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa  kehausan. Kemudian Ibnu ‘Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (HR Adaruquthny 2/207. Dishohihkan Al-Albany dalam Irwa’ul Gholil, 4/20.)

17.  T : Apa saja yang tidak membatalkan Puasa ?
J : Diantaranya adalah :
1.       mencium dan mencumbu istri selama tidak melakukan jima'.
2.       Diperbolehkan berkumur dan istinsyaq (memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya) selama tidak berlebihan (terlalu dalam).
3.       Mencicipi makanan dengan syarat bila dibutuhkan, tidak berlebihan, serta tidak sampai masuk ke dalam kerongkongan. Sebagaimana atsar dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anh (Ibnu Abi Syaibah 3/47, Al Baihaqi 4/261. Lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/112-113)
4.       Diperbolehkan bersiwak meskipun dengan pasta gigi selama tidak masuk ke dalam kerongkongan. (Shahih Fiqh Sunnah 2/117)
5.       Diperbolehkan membekam atau pun dibekam, hadits yang menerangkan bahwa orang yang membekam dan dibekam batal puasanya maknanya adalah Majas bukan hakikatnya (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/117)
6.       Diperbolehkan mendonorkan darah karena hukumnya sama dengan bekam. (Shahih Fiqh Sunnah 2/113-114)
7.       Diperbolehkan menggunakan obat tetes hidung dan mata selama tidak berlebihan dan tidak sampai masuk ke dalam kerongkongan. (Masa-il Mu’ashiroh 448-453)
8.       Suntikan obat tidak membatalkan puasa. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/257, Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/220, keputusan Mujamma’ Fiqhi dalam Majallatul Mujamma’ al Fiqhi edisi 10 2/464. Lihat Masa-il Mu’ashiroh 454)
9.       Suntikan yang dapat memberikan tenaga seperti suntikan gizi atau infus membatalkan puasa. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 15/258, Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 19/219, keputusan Mujamma’ Fiqhi dalam Majallatul Mujamma’ al Fiqhi edisi 10 2/464. Lihat Masa-il Mu’ashiroh 454-455)
10.   Diperbolehkan bagi wanita untuk meminum obat pencegah haidh agar dapat melaksakan puasa secara penuh dan memperbanyak ibadah selama Ramadhan, selama tidak membahayakan kesehatannya. (Masa-il Mu’ashiroh 456-458)
11.   Diperbolehkan memakai celak dan mencium wewangian. (Shahih Fiqh Sunnah 115-117)

18. T : Kapan waktu yang baik untuk berbuka ?
J : Diawal waktunya, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam : “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098, dari Sahl bin Sa’ad

19. T : Ada berapakah Sholat Tarawih ?
J : Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahulloh    mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” At Tamhid, 21/70

20. T : Bolehkan jika Imam Sholat 23 Rokaat, kita hanya sholat 11 rokaat ?
J : Boleh, namun yang lebih Afdhol Sholat bersama imam sampai selesai, sebagaimana Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam Muhammad : “Orang yang shalat tarawih mengikuti imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi, no. 734, Ibnu Majah, no. 1317, Ahmad, no. 20450)

21. T : Bolehkan Sholat Tarawih dikerjakan 4 rokaat sekali salam ?
J : Tidak boleh, karena yang sunnah adalah dua rokaat kemudian salam, dalilnya adalah : “Sholat malam adalah Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)

22. T : Bolehkah Sholat Tahajud setelah Sholat Tarawih ?
J : Boleh, Namun jika sudah witir saat Tarawih. Maka jangan witir lagi saat Tahajjud. Dan dalam perkara ini, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam pernah melakukannya dalam riwayat dikatakan : “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 raka’at (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka’at kemudian beliau berwitir (dengan 1 raka’at). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk. Jika ingin melakukan ruku’, beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau membungkukkan badan untuk ruku’. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua raka’at.” (HR. Muslim no. 738)

23. T : Lantas bagaimana dengan Hadits : “Jadikanlah penutup shalat malam kalian adalah shalat witir.”  (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)?
J : Menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam di sini dihukumi sunnah (dianjurkan) dan bukanlah wajib karena terdapat dalil pemaling dari perbuatan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 395).

24. T : Apakah Amalan Utama dibulan Ramadhan? 
J :
1.       Puasa, dalilnya Al-Baqoroh : 183
2.       Sholat Tarawih, Dalilnya Hadits Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam “Barangsiapa yang shalat malam di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, diampuni dosanya yang telah lalu“. (Muttafaqun ‘alaih)
3.       Membaca Al-Qur’an, Dalilnya Al-Baqoroh : 185
4.       Bersedekah, Dalilnya Hadits Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam : dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan kedermawaan beliau akan bertambah pada bulan Ramadhan ketika bertemu dengan Jibril. Beliau bertemu dengan Jibril setiap malam Ramadhan untuk mempelajari Al-Qur’an, dan  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan dari hembusan angin (yakni sangat mudah mengeluarkan sedekah).” (HR. Bukhari)
5.       Ittikaf & menghidupkan Malam Lailatul Qodr. dalilnya adalah “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selama sepuluh hari setiap bulan Ramadhan, dan beri’tikaf selama dua puluh hari pada tahun beliau wafat”. (HR. Bukhari)
6.       Umroh, dalilnya adalah : “Umrah di bulan Ramadhan (pahalanya) menyerupai haji” (HR. Tirmidzi)
7.       Meninggalkan Maksiyat dan hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasa.

25. T : Kapankah waktu membayar Zakat Fithri ?
J : Zakat Fitri berhubungan dengan Idhul Fitri, sehingga pembayarannya pun mendekati Idhul Fitri, “ Waktu utama (afdhol) yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied.Waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, 640 & Minhajul Muslim, 231)

26. T : Bolehkah Zakat Fitri dengan menggunakan uang ?
J : Zakat Fitri dibayar dengan menggunakan makanan pokok, dan ini adalah pendapat Mayoritas ulama. Diantaranya adalah Al-Imam An-Nawawi beliau mengatakan, “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang menurut mazhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Majmu 6/110)

27. T : Siapakah golongan yang menerima zakat fitri ini ?
J : Para ulama berbeda pendapat, namun yang paling kuat adalah : Yang berhak menerima Zakat Fitri ini hanyalah Orang miskin & Faqir saja. Berlandaskan keterangan :
1.       Perkataan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri … sebagai makanan bagi orang miskin ….” (Hr. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
2.       Berkaitan dengan hadis ini, Asy-Syaukani mengatakan, “Dalam hadis ini, terdapat dalil bahwa zakat fitri hanya (boleh) diberikan kepada fakir miskin, bukan 6 golongan penerima zakat lainnya.” (Nailul Authar, 2:7)

28. T : Bolehkah kita memberikan zakat kepada Keluarga sendiri ?
J : Boleh, dengan catatan dia adalah orang miskin dan bukan orang yang wajib kita nafkahi ( yaitu Istri, Orang tua & Anak ) dalam Hadits dikatakan : Nabi Shollallohu ‘Alaihi wasallam bersabda : Zakat kepada orang miskin nilainya zakat biasa. Zakat kepada kerabat, nilainya dua: zakat dan menyambung silaturahmi. (HR. Ahmad 16668, Nasai 2594, Turmudzi 660, dan yang lainnya).

29. T : Apakah boleh, membagikan Zakat Fitri setelah Sholat Ied ?
J : Pembagian zakat fitri kepada yang berhak, dilakukan sebelum Sholat Ied. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Kecuali jika memang tidak memungkinkan, boleh baginya untuk membagikan setelah Sholat. Walohu A’lam (fatwa.islamweb.net nomor fatwa : 128120 )

30. T : Bolehkah Puasa Syawwal sebelum Qodho Ramadhan ?
J : Ulama berselisih pendapat masalah ini, Asyaikh Abu Malik Kamal mengatakan dalam kitabnya shohih Fiqh Sunnah :” Diperbolehkan berpuasa 6 hari di bulan Syawwal sebelum Qodho Ramadhan. Apalagi bagi orang yang kesempitan berpuasa Syawwal apabila menqodho Ramadhan” ( Shohih Fiqh Sunnah 2/ 134)