Saya sebenarnya sangat tertarik pada cerita
dosen Unair yang sayang saya tak tahu namanya. Di beberapa WhatsApp saya baca
rekaman momen yang dia catat saat menerima seorang siswa SLB yang mencari
alamat. Dari Jogja, anak SLB itu ditugaskan gurunya mencari alamat di Surabaya.
Itulah penentuan kelulusannya. Dosen tadi
merekam momen itu yang menyebabkan kebahagiaan si siswa. Sewaktu didalami, pak
dosen mencatat, anak itu tak boleh diantar, tak boleh pakai taksi atau becak.
Harus cari sendiri walau boleh bertanya. Ya, seorang diri.
Saya pikir di situ ada tiga orang hebat.
Pertama adalah gurunya yang punya ide dan berani ambil risiko. Bayangkan, ini
siswa SLB dan kalau dia hilang, habislah karir pak/bu guru itu. Apalagi kalau
dia anak pejabat atau orang berduit. Kata orang Jakarta, ’’bisa mampus’’. Saya
sendiri yang menugaskan mahasiswa satu orang satu negara pernah mengalami hal
tersebut.
Kedua, orang tua yang rela melepas anaknya
belajar dari alam. Ya, belajar itu berarti menghadapi realitas, bertemu dengan
aneka kesulitan, mengambil keputusan, dan berhitung soal hidup, bukan
matematika imajiner. Belajar itu bukan cuma memindahkan isi buku ke kertas,
melainkan menguji kebenaran dan menghadapi aneka ketidakpastian.
Orang tua yang berani melepas anak-anaknya
dan tidak mengganggu proses alam mengajak anak-anaknya bermain adalah orang tua
yang hebat. Memercayai kehebatan anak merupakan awal kehebatan itu sendiri.
Ketiga, tentu saja si anak yang bergairah
mengeksplorasi dan ’’membaca’’ alam. Anak-anak yang hebat adalah anak-anak yang
berani keluar dari cangkangnya. Keluar dari rahim, dari selimut rasa nyaman,
tidak lagi dibedong, digendong, atau dituntun. Berjalan di atas kaki dan
memakai otaknya sendiri.
Otak Orang Tua
Tetapi, yang terjadi selanjutnya adalah
sebuah tragedi. Semakin kaya dan berkuasa, orang tua semakin ’’menguasai’’
anak-anaknya. Pasangan diatur dan dipilih orang tua, jurusan dan mata kuliah,
bahkan siapa dosennya, lalu juga di mana bekerja. Ini sungguh sebuah kelas
menengah yang sudah kelewatan.
Bahkan, begitu bekerja, kita menemukan
sosok-sosok yang, maaf, ’’agak bodoh’’. Katanya lulusan universitas terkenal,
IPK tinggi, tetapi sama sekali tidak bisa mengambil keputusan. Dan di antara
teman-temannya, mereka dikenal sebagai sosok yang tidak asyik, sulit
’’linkage’’ atau mingle dengan yang lain.
Setelah tinggal di mes, teman-temannya baru
tahu. Ternyata, beberapa hari sekali ’’mami’’-nya menelepon dan nangis-nangis
karena merasa kehilangan. Nasihat ’’mami’’ banyak sekali dan si anak terlihat
takut. Disuruh nego soal gaji, dia pun nego, padahal kerja baru seminggu dan
belum menunjukkan prestasi apa-apa. Begitu disuruh mami pulang, pulanglah dia
tanpa izin dari kantor.
Anak saya sendiri sejak SMP sudah dididik
mandiri. Maka saat di SMA, dia sudah tidak sulit mengambil keputusan. Bahkan
saat kuliah di negeri seberang, dengan cepat dia bisa memilih tempat
tinggalnya. Sedangkan anak seorang pegusaha butuh dua bulan. Waktu saya tanya
mengapa, dia jelaskan bahwa setiap kali anaknya dapat rumah, ibunya menganulir.
Saya bayangkan betapa rumitnya pesta
pernikahan anak-anak yang orang tuanya seperti itu. Tanpa disadari, mereka
membuat otak anak-anaknya kosong, terbelenggu, tak terlatih. Semua itu adalah
otak orang tua, bukan otak anaknya.
Namun, ketika kolom tentang dagelan orang
tua saya tulis beberapa hari lalu itu beredar luas lewat media sosial, saya
punya kesempatan untuk ’’membaca’’.
Mayoritas pembaca tertampar ketika
dikatakan bahwa anak-anaknya hebat, tetapi telah merusaknya dengan memberikan
pengawalan ’’superekstra’’. Namun, saya juga menemui orang tua yang bebal, yang
mengancam saya harus diperiksa KPAI karena mereka menganggap anaknya yang sudah
mahasiswa masih ’’di bawah umur’’.
Bahkan, ketika saya katakan, ’’Jangan Latih
Anak-Anak Dijemput KBRI’’, mereka protes dengan dalih KBRI itu dibiayai negara,
untuk melindungi anak-anak mereka. Ada juga yang sangat takut anaknya kesasar,
jadi korban perdagangan manusia, diperkosa, dan seterusnya.
Terus terang, mereka itulah yang seharusnya
berubah. Takut berlebihan bisa membuat anak-anak ’’lumpuh’’ dan bermental
penumpang. Anak-anak itu merasa akan selalu pintar kalau di sekolah juara
kelas. Padahal, pintar di sekolah tidak berarti pintar dalam hidup.
Kalau memang lokasi kunjungannya berbahaya,
tentu bisa dipelajari. Anak-anak kita, khususnya mahasiswa (bahkan kelas 2–3
SMA), bisa diajak membaca lingkungan. Orang tua bisa memberikan advis, bukan
mengambil keputusan.
Tetapi, harus saya katakan, melatih
anak-anak berpikir dan mengambil keputusan sedari muda amatlah penting.
Sepenting membangun pertahanan dan keamanan negara, kita butuh penerus yang
cerdas dalam menghadapi kesulitan dan ketidakpastian. Sebab, itulah situasi
yang dihadapi anak kita kelak pada abad ke-21 ini.
Saya juga dapat pesan dari guru besar
perempuan UI yang disegani dan dari bupati Trenggalek. Dari guru besar UI, saya
mendapat cerita bagaimana pada usia SMP dia sudah ditugaskan ayahnya menyusul
sendiri ke Padang. Di sana, ayahnya yang tentara mendapat tugas baru. Dia pun
harus mencari sekolah sendiri dan mendaftar sendiri.
Lalu, ketika setahun tinggal di sana,
ayahnya ditugaskan panglima untuk tugas belajar ke Amerika Serikat. Tinggallah
si anak harus merajut hidup dengan bekal seadanya di kota yang belum dia kenal.
Tetapi, hasilnya, dia menjadi pemikir yang dikenal kaya dengan empati, bukan
tipe manusia berwacana.
Sementara itu, dari Bupati Trenggalek Emil
Dardak, saya mendapat proof bahwa apa yang dididik orang tua pada masa kecilnya
amat bermanfaat untuk mengantarnya ke tugas hari ini. Ayahnya, Hermanto Dardak,
mantan wakil menteri PU, sering mengajak Emil ke luar negeri kalau ada undangan
seminar. Sesampai di kota itu, Emil ditugaskan jalan-jalan sendiri mengenal
kota.
Emil menulis melalui WA ke saya, ’’Saya
beruntung punya orang tua yang kuat jantung dan beri kesempatan untuk membangun
masa depan yang saya mampu jalani, meski berisiko.’’ Anda tahu, bupati muda ini
meraih gelar doktor dari Jepang pada usia 22 tahun.
Perjalanan hari ini membentuk anak-anak
kita pada hari esok. Saya harap orang tua kelas menengah siap berubah. Janganlah
khawatir berlebihan. Berikanlah kepercayaan dan tantangan agar mereka sukses
seperti Anda. Sebab, rumput sekalipun, kalau tak tembus matahari, akan berubah
menjadi tanah yang gundul.
--Rhenald Kasali