Basis penyebaran Islam:
- Pariaman
di Sumbar
- Gresik
dan Tuban di Jatim
- Demak di
Jateng
- Banten
di Jabar
- Palembang
Sumsel
- Banjar
di Kalsel
- Makassar
di Sulsel
- Ternate,
Tidore, Bacan dan Jailolo di Maluku
- Sorong
di Irian Jaya
Perkembangan Islam di Sumatra
Abad ke-13, di Sumatra telah berdiri kerajaan Islam Samudera
Pasai yang merupakan kerajaan Islam Pertama di Indonesia. Kerajaan
ini terletak di pesisir timur laut Aceh (sekarang : Kab. Lhokseumawe).
Tahun 1514 di ujung utara pulau
Sumatera berdiri kesultanan Aceh dikenal dengan nama Aceh Darussalam. Kemunculan
kerajaan samudera pasai adalah hasil islamisasi daerah pesisir pantai yang
dilakukan pedagang muslim pada abad ke-7.
Samudera pasai memiliki hubungan dengan Sultan Delhi India (tahun
746H/1345M)
Ibnu Batutah pengembara dari Maroko yang sempat singgah ke samudera pasai
Samudera Pasai merupakan tempat pusat studi agama Islam dan berkumpulnya
para ulama’.
Tahun 1521 samudera pasai ditaklukkan Portugis dan mendudukinya selama 3
tahun.
Aceh Darussalam. Tahun 1514 Sultan Ali Mughayat Syah mendirikan Kesultanan
Islam Aceh yang dikenal dengan nama Aceh Darussalam. Puncak kejayaan
kerajaan ini pada masa Sultan Iskandar Muda, yakni kemajuan dibidang ekonomi
dan pemerintahan dan menjalin hubungan dengan kerajaan Turki Usmani (Ottoman).
Adat Mahkota Alam adalah undang-undang yang disusun dan diberlakukan di
kerajaan itu. Selain itu, hukum Islam dilaksanakan dengan tegas.
Ulama dari gujarat yang menulis di kesultanan Aceh
adalah Syeh Nuruddin ar Raniri menulis kitab Sirat al Mustaqim dan Bustan
at Salatin.
“Mati anak ada makamnya, mati hukum kemana lagi kan dicari keadilannya”.
Kemunduran kerajaan ini adalah setelah Sultan wafat, diganti oleh
menantunya dan diteruskan oleh sultanah (sultan wanita) 4 periode
berturut-turut. Tahun 1874 Belanda menyatakan Aceh dan daerah taklukkannya
menjadi milik Belanda.
Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim
As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal
abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi mengikuti
pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian
rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak,
ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana
Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini
sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Syeh Maghribi panggilan akrabnya, karena berasal
dari daerah Magribi, Afrika Utara. Adalah orang Islam pertama yang masuk Jawa.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga
belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua
putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali
Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri
itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan
keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa
orang.
Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo,
daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo
sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota
Gresik.Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan
cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah.
Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati
masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk
mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri
tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok
tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka
sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar
yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai
membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M
Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik,
Jawa Timur.
Sunan Ampel
Pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat,
dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai
lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa
adalah satu negeri kecil yang terletak di Camboja. Pendapat lain, Raffles
menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut
beberapa riwayat, orangtua Sunan Ampel adalah Ibrahim
Asmarakandi yang
berasal dari Champa dan menjadi raja di sana.Ibrahim Asmarakandi disebut juga
sebagai Maulana Malik Ibrahim. Ia dan adiknya, Maulana Ishaq adalah anak dari
Syekh Jumadil Qubro. Ketiganya berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah.
Suanan Ampel menginginkan masyarakat menganut keyakinan Islam yang murni.
Sejarah dakwahnya
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil
mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan Champa menjadi
Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan lahirlah Raden
Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa
diikuti keluarganya.
Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443,
untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang
menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila,
putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai
4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim
(Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan seorang putri yang kemudian menjadi istri
Sunan Kalijaga. Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang
Beliau dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama
Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng
Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Jepara. Sunan Bonang wafat pada
tahun 1525 M, dan saat ini makamnya berada di kota Gresik. Memusatkan dakwahnya
di Tuban Metode dakwahnya menyesuaikan diri dengan kebudayaan masyarakat Jawa
yang menggemari wayang dan musik gamelan. Nama-nama dewa diganti dengan
nama-nama Malaikat. Beliau wafat di Tuban 1525.
Karya Sastra Sunan Bonang banyak menggubah sastra
berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi
kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang
Tombo Ati yang kini masih sering dinyanyikan orang. Apa pula sebuah karya
sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang
dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku
(Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya,
dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.
Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu
kebathinannya. Beliau mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah
SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan yang disebut
dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya
Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau
jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28
huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya’.
Beliau menciptakan Gerakan fisik dari nama dan
simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh
dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk
menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya
diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur’an. Penekanan keilmuan yang
diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud
atau Sholat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang
masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan
nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia.
Sunan Giri
Nama asli Raden Paku,putra dari Raden Maulana
Ishak. Pendiri dan pembina pesantren di Giri dengan mengkader muridnya menjadi
juru dakwah yang dikirim ke Madura, Bawean, Kangean, Ternate dan Tidore.
Pendidik yang berjiwa demokratis melalui berbagai permainan yang berjiwa agama,
seperti jelungan, gendi ferit, cublak-cublak suweng, dan ilir-ilir.
Beliau wafat di Giri-Gresik 1506.
Di masa kecilnya Sunan Giri berguru kepada Sunan
Ampel dan berkenalan dengan Sunan Bonang. Disebutkan bahwa Sunan Giri dan Sunan
Bonang kemudian bersama-sama pergi belajar ke tanah Arab. Setelah kembali ke
Jawa, ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa
Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah ia
yang sebelumnya dikenal dengan nama Raden ‘Ainul Yaqin, mulai dikenal
masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai
salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke
Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus
berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang
menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya
ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang
sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah
permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta
beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
Sunan Drajat
Raden Qosim/ Syarifuddin adalah nama aslinya, putra dari sunan
Ampel. Dakwahnya dengan menggunakan pendekatan kultural. Yakni
dengan menciptakan tembang pangkur. Perhatian serius pada masalah sosial
dan orientasi kegotong royongan. Beliau wafat di Sedayu-Gresik abad ke-16.
Sejarah singkat
Sunan Drajat bernama keciI Syarifuddin atau Raden
Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai,
beliau mengambil tempat di desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten
Daerah Tingkat II Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan
XVI Masehi. Beliau memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat
sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal
sosiawan sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin, terlebih dahulu
mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan ajaran. Motivasi lebih
ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan
menciptakan kemakmuran. Usaha kearah itu menjadi lebih mudah karena Sunan
Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya
menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan
menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan
Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak I pada tahun saka 1442
atau 1520 Masehi.
Wewarah pengentasan kemiskinan Sunan Drajat kini
terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat.
Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :
-
Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang
lain)
-
Jroning suko kudu eling Ian waspodo (didalam suasana riang kita harus tetap
ingat dan waspada)
-
Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo
bayaning lampah (dalam
perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala
bentuk rintangan)
-
Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu -
nafsu)
-
Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh
keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita
luhur).
-
Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir
bathin hanya bisa kita capai dengan sholat lima waktu)
-
Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono
mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono
ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat
yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri
perlindungan orang yang menderita).
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden
Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau
Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh
Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan
satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di
Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di
sungai (kali), atau jaga kali.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan
menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R.
Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu,
dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi
orang. Kalijaga adalah perpaduan bhs. Arab qadi zaka (pemimpin yang
menegakkan kebersihan dan kesucian). Dakwahnya intelektual dan aktual sehingga
para bangsawan dan cendekiawan banyak yang bersimpati padanya. Beliau yang
mengembangkan wayang menjadi media dakwah dengan cerita bercorak Islami.
Mengembangkan seni suara, seni ukir, seni busana dan seni pahat dan
kesusastraan.
Sejarah Hidup
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai
lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan
Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten,
bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan
Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati.
Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung
Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan
salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan
mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung
“sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia
berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah
Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul.
Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan,
garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk
Dadi Ratu (”Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun
dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian
besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah
adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
Sunan Kudus
Sunan Kudus nama aslinya Jakfar Sadiq. Menyiarkan agama di
daerah kudus dan sekitarnya.ahli dalam ilmu fiqh, usul fiqh, tauhid, hadis
dan tafsir. oleh karena itu beliau dijuluki waliyulilmi. Penyebaran
agamanya dilakukan dengan pendekatan kultural, menciptakan berbagai cerita
agama, gending mijil. Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk
Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto, dia menjadi
penasihat bagi Arya.
Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk
Kesultanan Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi
Kesultanan Demak. Dalam melakukan dakwah penyebaran Islam di Kudus, Sunan Kudus
menggunakan sapi sebagai sarana penarik masyarakat untuk datang untuk
mendengarkan dakwahnya. Sunan Kudus juga membangun Menara Kudus yang
merupakan gabungan kebudayaan Islam dan Hindu yang juga terdapat Masjid yang
disebut Masjid Menara Kudus. Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah
mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid
Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang.
Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun
kota Kudus, Jawa Tengah.Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya
kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul
Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban
sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini
masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.
Sunan Muria
Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga dengan nama asli
Raden Umar Sa’id, nama kecil Raden Prawoto.Memusatkan kegiatan dakwahnya di
gunung Muria 18 km sebelah utara kota Kudus. Menjadikan desa-desa terpencil
sebagai pusat dakwahnya pembelajaran agama dengan cara kursus-kursus untuk kaum
pedagang, nelayan, dan rakyat biasa. Gaya berdakwahnya banyak mengambil
cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih
suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk
menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai
penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal
sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya
masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak
yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar
Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan
Kinanti
.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, Sunan
Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama
walisongo.Lahir di Mekkah 1448 adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Mengembangkan
ajaran Islam di Cirebon, Majalengka, Kuningan, Kawali, Sunda Kelapa dan Banten.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak
berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara.
Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama
lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan
Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali
songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya
sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke
pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur
Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun
infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.Bersama
putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah
Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia
89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah.
Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan
Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan
di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota
Cirebon dari arah barat.
Lagu llir-ilir mempunyai arti :
Ilir ilir
Ilir ilir, ilir ilir,
tandure wus sumilir
Tak ijo royo royo, tak sengguh temanten anyar
Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi
Lunyu lunyu penekna, kanggo basuh dodot ira
Dodot ira, dodot ira, kumitir bedah ing pinggir
Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore
Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane
Ya suraka, surak hiya
Ilir-ilir, Ilir-ilir, tandure (hu)wus sumilir
(BI) Bangunlah,
bangunlah, tanamannya telah bersemi
(MS) Kanjeng Sunan mengingatkan agar orang-orang Islam segera bangun dan
bergerak. Karena saatnya telah tiba. Karena bagaikan tanaman yang telah siap
dipanen, demikian pula rakyat di Jawa saat itu (setelah kejatuhan Majapahit)
telah siap menerima petunjuk dan ajaran Islam dari para wali.
Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar
(BI) Bagaikan warna hijau
yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru
(MS) Hijau adalah warna kejayaan Islam, dan agama Islam disini digambarkan
seperti pengantin baru yang menarik hati siapapun yang melihatnya dan membawa
kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya.
Cah angon, cah angon, penek(e)na blimbing kuwi
(BI) Anak gembala, anak
gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu.
(MS) Yang disebut anak gembala disini adalah para pemimpin. Dan belimbing
adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari lima rukun Islam dan
sholat lima waktu. Jadi para pemimpin diperintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk
memberi contoh kepada rakyatnya dengan menjalankan ajaran Islam secara benar.
Yaitu dengan menjalankan lima rukun Islam dan sholat lima waktu.
Lunyu-lunyu penek(e)na kanggo mbasuh dodot (s)ira
(BI) Biarpun licin,
tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodot mu.
(MS) Dodot adalah sejenis kain kebesaran orang Jawa yang hanya digunakan pada
upacara-upacara atau saat-saat penting. Dan buah belimbing pada jaman dahulu,
karena kandungan asamnya sering digunakan sebagai pencuci kain, terutama untuk
merawat kain batik supaya tetap awet. Dengan kalimat ini Sunan Kalijaga
memerintahkan orang Islam untuk tetap berusaha menjalankan lima rukun Islam dan
sholat lima waktu walaupun banyak rintangannya (licin jalannya). Semuanya itu
diperlukan untuk menjaga kehidupan beragama mereka. Karena menurut orang Jawa,
agama itu seperti pakaian bagi jiwanya. Walaupun bukan sembarang pakaian biasa.
Dodot (s)ira, dodot (s)ira kumitir bedah ing
pingggir
(BI) Kain dodotmu, kain
dodotmu, telah rusak dan robek
(MS) Saat itu kemerosotan moral telah menyebabkan banyak orang meninggalkan
ajaran agama mereka sehingga kehidupan beragama mereka digambarkan seperti
pakaian yang telah rusak dan robek.
Dondomana, jlumatana, kanggo seba mengko sore
(BI) Jahitlah, tisiklah untuk menghadap (Gustimu) nanti sore
(MS) Seba artinya menghadap orang yang berkuasa (raja/gusti), oleh karena itu
disebut 'paseban' yaitu tempat menghadap raja. Di sini Sunan Kalijaga
memerintahkan agar orang Jawa memperbaiki kehidupan beragamanya yang telah
rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran agama Islam secara benar, untuk bekal
menghadap Allah SWT di hari nanti.
Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane
(BI) Selagi rembulan
masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang
(MS) Selagi masih banyak waktu, selagi masih lapang kesempatan, perbaikilah
kehidupan beragamamu.
Ya suraka, surak hiya
(BI) Ya, bersoraklah,
berteriak-lah IYA
(MS) Di saatnya nanti datang panggilan dari Yang Maha Kuasa nanti, sepatutnya
bagi mereka yang telah menjaga kehidupan beragamanya dengan baik untuk
menjawabnya dengan gembira.
Peran Strategis Ormas Islam
Menarik untuk diamati bahwa tantangan dan
masalah-masalah yang dihadapi umat Islam tanah air kita selama ini telah
mendorong kebangkitan organisasi - organisasi Islam yang memainkan perannya
secara nyata di dalam ranah kultural kehidupan bangsa kita.
Organisasi-organisasi Islam di tanah air kita, ada yang berhaluan modernis dan
nonmazhab, tapi ada pula yang berhaluan tradisionalis dan menganut paham
bermazhab. Namun demikian, semua organisasi Islam pada hakikatnya menginginkan
teRwujudnya kehidupan masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai dasar
agama. Di situlah kita melihat peran dan sumbangan strategis ormas Islam dengan
kegiatan yang dilakukan selama ini bagi pembangunan umat dan bangsa.
Dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa
depan, ormas-ormas Islam perlu melakukan sinergi program untuk membangun umat
dan mengatasi masalah-masalah yang timbul menyangkut kepentingan umat Islam
secara keseluruhan tanpa memandang sekat-sekat organisasi dan golongan. Dalam
kaitan ini. pembangunan pendidikan, penanggulangan kemiskinan, penanggulangan
krisis akhlak, pengembangan dakwah, serta koreksi terhadap paham dan
aliran-aliran menyimpang dan sesat yang belakangan ini meresahkan masyarakat,
seharusnya menjadi agenda bersama ormas-ormas Islam di tanah air kita. Dalam
bingkai kesatuan bangsa, ajaran dan nilai-nilai agama diakui perannya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Untuk itu semua umat beragama mendapat jaminan untuk
mengamalkan ajaran agamanya baik dalam tataran individual maupun dalam tataran
sosial kemasyarakatan sehingga tercipta kehidupan yang baik di tengah-tengah
masyarakat.
Dikutip dari sambutan: Mentri Agama RI
Sejarah Singkat Pendirian Persyarikatan Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis,
kemudian dikenal dengan KHA Dahlan . Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton
Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat
Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan
yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena
itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya
sebagai Khatib dan para pedagang. Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat
ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman
dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga
dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke
luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka
didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh
pelosok tanah air. Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada
laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum
pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran
untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang
telah dewasa. Beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun
1918 beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919
mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Mendirikan
organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH.
A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga
menjadi pemimpinnya.
Cita-Cita Hidup Muhammadiyah
1. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar,
beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja
untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk
malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka
bumi.
2. Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan
kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya
sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah
kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil
dan spritual, duniawi dan ukhrawi.
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:
a. Al-Qur'an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW;
b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang
diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan
jiwa ajaran Islam.
4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang
meliputi bidang-
bidang:
- 'Aqidah: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah
Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan
khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
- Akhlak: Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
nilai-nilai akhlak mulia dengan
berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan
Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia
- Ibadah : Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah
yang dituntunkan oleh
Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari
manusia.
d. Muamalah Duniawiyah
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu'amalat
duniawiyah (pengolahan
dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan
ajaran Agama serta menjadi
semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah
kepada Allah SWT.
5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah
mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan,
kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu
negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT:
"BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR"
(Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo)
Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau
Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam
yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 13 Januari 1926 dan
bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Paham Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah
pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan
kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak
hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan
realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu
seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu mazhab:Syafi'i Sementara dalam bidang
tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984,
merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal
jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih
maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan
tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial
dalam NU.
Tujuan dan Usaha Organisasi
Tujuan Organisasi : Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah
waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Usaha Organisasi :
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa
persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan
nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur,
berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan
yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau
Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta
kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati
hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini
ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti
membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU
berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
PROFIL PERSIS
Sejarah :
Tampilnya jam’iyyah Persatuan islam (Persis) dalam
pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan
warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas
tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan
berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh
suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih
dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha
memadamkan cahaya Islam.
Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya
gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak
intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indinesia untuk melakukan
pembaharuanIslam. Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok
tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam
dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah,
berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus
ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang
khas.
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
A. Awal
Masuknya Islam di Indonesia
Ketika
Islam datang di Indonesia, berbagai agama dan kepercayaan seperti animisme,
dinamisme, Hindu dan Budha, sudah banyak dianut oleh bangsa Indonesia bahkan
dibeberapa wilayah kepulauan Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan yang
bercorak Hindu dan Budha. Misalnya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, kerajaan
Taruma Negara di Jawa Barat, kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan sebagainya.
Namun Islam datang ke wilayah-wilayah tersebut dapat diterima dengan baik,
karena Islam datang dengan membawa prinsip-prinsip perdamaian, persamaan antara
manusia (tidak ada kasta), menghilangkan perbudakan dan yang paling penting
juga adalah masuk kedalam Islam sangat mudah hanya dengan membaca dua kalimah
syahadat dan tidak ada paksaan.
Tentang
kapan Islam datang masuk ke Indonesia, menurut kesimpulan seminar “ masuknya
Islam di Indonesia” pada tanggal 17 s.d 20 Maret 1963 di Medan, Islam masuk ke
Indonesia pada abad pertama hijriyah atau pada abad ke tujuh masehi. Menurut
sumber lain menyebutkan bahwa Islam sudah mulai ekspedisinya ke Nusantara pada
masa Khulafaur Rasyidin (masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib), disebarkan langsung dari Madinah.
B. Cara Masuknya Islam di Indonesia
Islam
masuk ke Indonesia, bukan dengan peperangan ataupun penjajahan. Islam
berkembang dan tersebar di Indonesia justru dengan cara damai dan persuasif
berkat kegigihan para ulama. Karena memang para ulama berpegang teguh pada
prinsip Q.S. al-Baqarah ayat 256 :
Artinya :
Tidak ada paksaan dalam agama (Q.S. al-Baqarah ayat 256)
Adapun cara masuknya Islam di
Indonesia melalui beberapa cara antara lain ;
1. Perdagangan
Jalur
ini dimungkinkan karena orang-orang melayu telah lama menjalin kontak dagang
dengan orang Arab. Apalagi setelah berdirinya kerajaan Islam seperti kerajaan
Islam Malaka dan kerajaan Samudra Pasai di Aceh, maka makin ramailah para ulama
dan pedagang Arab datang ke Nusantara (Indonesia). Disamping mencari keuntungan
duniawi juga mereka mencari keuntungan rohani yaitu dengan menyiarkan Islam.
Artinya mereka berdagang sambil menyiarkan agama Islam.
2. Kultural
Artinya
penyebaran Islam di Indonesia juga menggunakan media-media kebudayaan,
sebagaimana yang dilakukan oleh para wali sanga di pulau jawa. Misalnya Sunan
Kali Jaga dengan pengembangan kesenian wayang. Ia mengembangkan wayang kulit,
mengisi wayang yang bertema Hindu dengan ajaran Islam. Sunan Muria dengan
pengembangan gamelannya. Kedua kesenian tersebut masih digunakan dan digemari
masyarakat Indonesia khususnya jawa sampai sekarang. Sedang Sunan Giri
menciptakan banyak sekali mainan anak-anak, seperti jalungan, jamuran,
ilir-ilir dan cublak suweng dan lain-lain.
3. Pendidikan
Pesantren
merupakan salah satu lembaga pendidikan yang paling strategis dalam
pengembangan Islam di Indonesia. Para da’i dan muballig yang menyebarkan Islam
diseluruh pelosok Nusantara adalah keluaran pesantren tersebut. Datuk Ribandang
yang mengislamkan kerajaan Gowa-Tallo dan Kalimantan Timur adalah keluaran
pesantren Sunan Giri. Santri-santri Sunan Giri menyebar ke pulau-pulau seperti
Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga ke Nusa Tenggara. Dan sampai
sekarang pesantren terbukti sangat strategis dalam memerankan kendali
penyebaran Islam di seluruh Indonesia.
4. Kekuasaan politik
Artinya
penyebaran Islam di Nusantara, tidak terlepas dari dukungan yang kuat dari para
Sultan. Di pulau Jawa, misalnya keSultanan Demak, merupakan pusat dakwah dan
menjadi pelindung perkembangan Islam. Begitu juga raja-raja lainnya di seluruh
Nusantara. Raja Gowa-Tallo di Sulawesi selatan melakukan hal yang sama
sebagaimana yang dilakukan oleh Demak di Jawa. Dan para Sultan di seluruh
Nusantara melakukan komunikasi, bahu membahu dan tolong menolong dalam
melindungi dakwah Islam di Nusantara. Keadaan ini menjadi cikal bakal tumbuhnya
negara nasional Indonesia dimasa mendatang.
C.
Perkembangan Islam di Beberapa Wilayah Nusantara
1. Di Sumatra
Kesimpulan hasil seminar di Medan tersebut di
atas, dijelaskan bahwa wilayah Nusantara yang mula-mula dimasuki Islam adalah
pantai barat pulau Sumatra dan daerah Pasai yang terletak di Aceh utara yang
kemudian di masing-masing kedua daerah tersebut berdiri kerajaan Islam yang
pertama yaitu kerajaan Islam Perlak dan Samudra Pasai.
Menurut keterangan
Prof. Ali Hasmy dalam makalah pada seminar “Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Aceh” yang digelar tahun 1978 disebutkan bahwa kerajaan Islam yang
pertama adalah kerajaan Perlak. Namun ahli sejarah lain telah sepakat, Samudra
Pasailah kerajaan Islam yang pertama di Nusantara dengan rajanya yang pertama
adalah Sultan Malik Al-Saleh (memerintah dari tahun 1261 s.d 1297 M). Sultan
Malik Al-Saleh sendiri semula bernama Marah Silu. Setelah mengawini putri raja
Perlak kemudian masuk Islam berkat pertemuannya dengan utusan Syarif Mekkah
yang kemudian memberi gelar Sultan Malik Al-Saleh.
Kerajaan Pasai sempat diserang oleh Majapahit
di bawah panglima Gajah Mada, tetapi bisa dihalau. Ini menunjukkan bahwa
kekuatan Pasai cukup tangguh dikala itu. Baru pada tahun 1521 di taklukkan oleh
Portugis dan mendudukinya selama tiga tahun. Pada tahun 1524 M Pasai dianeksasi
oleh raja Aceh, Ali Mughayat Syah. Selanjutnya kerajaan Samudra Pasai berada di
bawah pengaruh keSultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam
(sekarang dikenal dengan kabupaten Aceh Besar).
Munculnya kerajaan baru di Aceh yang berpusat
di Bandar Aceh Darussalam, hampir bersamaan dengan jatuhnya kerajaan Malaka
karena pendudukan Portugis. Dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah atau
Sultan Ibrahim kerajaan Aceh terus mengalami kemajuan besar. Saudagar-saudagar
muslim yang semula berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatannya ke Aceh.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Iskandar Muda
Mahkota Alam ( 1607 - 1636).
Kerajaan Aceh ini mempunyai peran penting
dalam penyebaran Agama Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Para da’i, baik
lokal maupun yang berasal dari Timur Tengah terus berusaha menyampaikan ajaran
Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Hubungan yang telah terjalin antara
kerajaan Aceh dengan Timur Tengah terus semakin berkembang. Tidak saja para
ulama dan pedagang Arab yang datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia
sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam datang langsung ke sumbernya di
Mekah atau Madinah.
Kapal-kapal dan ekspedisi dari
Aceh terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke 16. Bahkan pada tahun
974 H. atau 1566 M dilaporkan ada 5 kapal dari kerajaan Asyi (Aceh) yang
berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah. Ukhuwah yang erat antara Aceh dan Timur
Tengah itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Mekah.
2. Di Jawa
Benih-benih kedatangan
Islam ke tanah Jawa sebenarnya sudah dimulai pada abad pertama Hijriyah atau
abad ke 7 M. Hal ini dituturkan oleh Prof. Dr. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah
Umat Islam, bahwa pada tahun 674 M sampai tahun 675 M. sahabat Nabi, Muawiyah
bin Abi Sufyan pernah singgah di tanah Jawa (Kerajaan Kalingga) menyamar
sebagai pedagang. Bisa jadi Muawiyah saat itu baru penjajagan saja, tapi proses
dakwah selanjutnya dilakukan oleh para da’i yang berasal dari Malaka atau
kerajaan Pasai sendiri. Sebab saat itu lalu lintas atau jalur hubungan antara
Malaka dan Pasai disatu pihak dengan Jawa dipihak lain sudah begitu pesat.
Adapun gerakan dakwah Islam di Pulau Jawa selanjutnya
dilakukan oleh para Wali Sanga, yaitu :
a.Maulana Malik Ibrahim atau
Sunan Gresik
Beliau dikenal juga
dengan sebutan Syeikh Magribi. Ia dianggap pelopor penyebaran Islam di Jawa.
Beliau juga ahli pertanian, ahli tata negara dan sebagai perintis lembaga
pendidikan pesantren. Wafat tahun 1419 M.(882 H) dimakamkan di Gapura Wetan
Gresik
b. Raden Ali Rahmatullah (Sunan
Ampel)
Dilahirkan di Aceh
tahun 1401 M. Ayahnya orang Arab dan ibunya orang Cempa, ia sebagai mufti dalam
mengajarkan Islam tak kenal kompromi dengan budaya lokal. Wejangan terkenalnya
Mo Limo yang artinya menolak mencuri, mabuk, main wanita, judi dan madat, yang
marak dimasa Majapahit. Beliau wafat di desa Ampel tahun 1481 M.
Jasa-jasa Sunan Ampel :
1) Mendirikan pesantren di
Ampel Denta, dekat Surabaya. Dari pesantren ini lahir para mubalig kenamaan
seperti : Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan Demak pertama), Raden
Makhdum (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Maulana Ishak yang
pernah diutus untuk menyiarkan Islam ke daerah Blambangan.
2) Berperan aktif dalam membangun Masjid Agung Demak yang
dibangun pada tahun 1479 M.
3) Mempelopori berdirinya kerajaan Islam Demak dan ikut
menobatkan Raden Patah sebagai Sultan pertama.
c. Sunan Giri (Raden Aenul Yaqin atau Raden
Paku
Ia putra Syeikh Yakub
bin Maulana Ishak. Ia sebagai ahli fiqih dan menguasai ilmu Falak. Dimasa
menjelang keruntuhan Majapahit, ia dipercaya sebagai raja peralihan sebelum
Raden Patah naik menjadi Sultan Demak. Ketika Sunan Ampel wafat, ia
menggantikannya sebagai mufti tanah Jawa.
d. Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Putra Sunan Ampel lahir
tahun 1465. Sempat menimba ilmu ke Pasai bersama-sama Raden Paku. Beliaulah
yang mendidik Raden Patah. Beliau wafat tahun 1515 M.
e. Sunan Kalijaga (Raden Syahid)
Ia tercatat paling
banyak menghasilkan karya seni berfalsafah Islam. Ia membuat wayang kulit dan
cerita wayang Hindu yang diislamkan. Sunan Giri sempat menentangnya, karena
wayang Beber kala itu menggambarkan gambar manusia utuh yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam. Kalijaga mengkreasi wayang kulit yang bentuknya jauh dari
manusia utuh. Ini adalah sebuah usaha ijtihad di bidang fiqih yang dilakukannya
dalam rangka dakwah Islam.
f. Sunan Drajat
Nama aslinya adalah
Syarifudin (putra Sunan Ampel, adik Sunan Bonang). Dakwah beliau terutama dalam
bidang sosial. Beliau juga mengkader para da’i yang berdatangan dari berbagai
daerah, antara lain dari Ternate dan Hitu Ambon.
g. Syarif Hidayatullah
Nama lainnya adalah
Sunan Gunung Jati yang kerap kali dirancukan dengan Fatahillah, yang menantunya
sendiri. Ia memiliki keSultanan sendiri di Cirebon yang wilayahnya sampai ke
Banten. Ia juga salah satu pembuat sokoguru masjid Demak selain Sunan Ampel,
Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Keberadaan Syarif Hidayatullah dengan
kesultanannya membuktikan ada tiga kekuasaan Islam yang hidup bersamaan kala
itu, yaitu Demak, Giri dan Cirebon. Hanya saja Demak dijadikan pusat dakwah,
pusat studi Islam sekaligus kontrol politik para wali.
h. Sunan Kudus
Nama aslinya adalah
Ja’far Sadiq. Lahir pada pertengahan abad ke 15 dan wafat tahun 1550 M. (960
H). Beliau berjasa menyebarkan Islam di daerah kudus dan sekitarnya. Ia
membangun masjid menara Kudus yang sangat terkenal dan merupakan salah satu
warisan budaya Nusantara.
i. Sunan Muria
Nama aslinya Raden Prawoto atau
Raden Umar Said putra Sunan Kalijaga. Beliau menyebarkan Islam dengan
menggunakan sarana gamelan, wayang serta kesenian daerah lainnya. Beliau dimakamkan
di Gunung Muria, disebelah utara kota Kudus. Diparuh
awal abad 16 M, Jawa dalam genggaman Islam. Penduduk merasa tentram dan damai
dalam ayoman keSultanan Demak di bawah kepemimpinan Sultan Syah Alam Akbar Al
Fatah atau Raden Patah. Hidup mereka menemukan pedoman dan tujuan sejatinya
setelah mengakhiri masa Siwa-Budha serta animisme. Merekapun memiliki kepastian
hidup bukan karena wibawa dan perbawa sang Sultan, tetapi karena daulah hukum
yang pasti yaitu syari’at Islam “Salokantara” dan
“Jugul Muda” itulah dua kitab undang-undang Demak yang berlandaskan syari’at
Islam.
Dihadapan peraturan
negeri pengganti Majapahit itu, semua manusia sama derajatnya, sama-sama
khalifah Allah di dunia. Sultan-Sultan Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh
kekuasaan para Ulama atau Wali. Para Ulama itu berperan sebagai tim kabinet
atau merangkap sebagai dewan penasehat Sultan.
Dalam versi lain dewan wali sanga dibentuk sekitar 1474
M. oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel), membawahi Raden Hasan, Maftuh Ibrahim,
Qasim (Sunan Drajat) Usman Haji (ayah Sunan Kudus, Raden Ainul Yakin (Sunan
Gresik), Syekh Sutan Maharaja Raden Hamzah, dan Raden Mahmud. Beberapa tahun
kemudian Syekh Syarif Hidayatullah dari Cirebon bergabung di dalamnya. Sunan
Kalijaga dipercaya para wali sebagai muballig keliling. Disamping wali-wali
tersebut, masih banyak Ulama yang dakwahnya satu kordinasi dengan Sunan Ampel
hanya saja, sembilan tokoh Sunan Wali Sanga yang dikenal selama ini memang
memiliki peran dan karya yang menonjol dalam dakwahnya.
3. Di
Sulawesi
Ribuan pulau yang ada
di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas
motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini
pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut
catatan company dagang Portugis pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di
tanah ini sudah ditemui pemukiman muslim di beberapa daerah. Meski belum
terlalu banyak, namun upaya dakwah terus berlanjut dilakukan oleh para da’i di
Sumatra, Malaka dan Jawa hingga menyentuh raja-raja di kerajaan Gowa dan Tallo
atau yang dikenal dengan negeri Makasar, terletak di semenanjung barat daya
pulau Sulawesi.
Kerajaan Gowa ini
mengadakan hubungan baik dengan kerajaan Ternate dibawah pimpinan Sultan
Babullah yang telah menerima Islam lebih dahulu. Melalui seorang da’i bernama
Datuk Ri Bandang agama Islam masuk ke kerajaan ini dan pada tanggal 22
September 1605 Karaeng Tonigallo, raja Gowa yang pertama memeluk Islam yang
kemudian bergelar Sultan Alaudin Al Awwal (1591-1636 ) dan diikuti oleh perdana
menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa.
Setelah resmi menjadi kerajaan bercorak Islam Gowa Tallo
menyampaikan pesan Islam kepada kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu, Wajo,
Soppeng dan Bone. Raja Luwu segera menerima pesan Islam diikuti oleh raja Wajo
tanggal 10 Mei 1610 dan raja Bone yang bergelar Sultan Adam menerima Islam
tanggal 23 November 1611 M. Dengan demikian Gowa (Makasar) menjadi kerajaan
yang berpengaruh dan disegani. Pelabuhannya sangat ramai disinggahi para
pedagang dari berbagai daerah dan manca negara. Hal ini mendatangkan keuntungan
yang luar biasa bagi kerajaan Gowa (Makasar). Puncak kejayaan kerajaan Makasar
terjadi pada masa Sultan Hasanuddin (1653-1669).
4. Di
Kalimantan
Islam masuk ke
Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo melalui tiga jalur. Jalur
pertama melalui Malaka yang dikenal sebagai kerajaan Islam setelah Perlak dan
Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar
sebab para muballig dan komunitas muslim kebanyakan mendiamai pesisir barat
Kalimantan.
Jalur kedua, Islam
datang disebarkan oleh para muballig dari tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke
Kalimantan ini mencapai puncaknya saat kerajaan Demak berdiri. Demak
mengirimkan banyak Muballig ke negeri ini. Para da’i tersebut berusaha mencetak
kader-kader yang akan melanjutkan misi dakwah ini. Maka lahirlah ulama besar,
salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Jalur ketiga para da’i datang dari Sulawesi (Makasar)
terutama da’i yang terkenal saat itu adalah Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang
Parangan.
a. Kalimantan Selatan
Masuknya
Islam di Kalimantan Selatan adalah diawali dengan adanya krisis kepemimpinan
dipenghujung waktu berakhirnya kerajaan Daha Hindu. Saat itu Raden Samudra yang
ditunjuk sebagai putra mahkota oleh kakeknya, Raja Sukarama minta bantuan
kepada kerajaan Demak di Jawa dalam peperangan melawan pamannya sendiri, Raden
Tumenggung Sultan Demak (Sultan Trenggono) menyetujuinya, asal Raden Samudra kelak
bersedia masuk Islam.
Dalam peperangan itu Raden Samudra mendapat kemenangan.
Maka sesuai dengan
janjinya ia masuk Islam beserta kerabat keraton dan penduduk Banjar. Saat
itulah tahun (1526 M) berdiri pertama kali kerajaan Islam Banjar dengan rajanya
Raden Samudra dengan gelar Sultan Suryanullah atau Suriansyah. Raja-raja Banjar
berikutnya adalah Sultan Rahmatullah (putra Sultan Suryanullah), Sultan
Hidayatullah (putra Sultan Rahmatullah dan Marhum Panambahan atau Sultan
Musta’in Billah. Wilayah yang dikuasainya meliputi daerah Sambas, Batang Lawai,
Sukadana, Kota Waringin, Sampit Medawi, dan Sambangan.
b. Kalimantan Timur
Di Kalimantan Timur
inilah dua orang da’i terkenal datang, yaitu Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang
Parangan, sehingga raja Kutai (raja Mahkota) tunduk kepada Islam diikuti oleh
para pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang. Untuk kegiatan dakwah ini
dibangunlah sebuah masjid.
Tahun 1575 M, raja Mahkota berusaha menyebarkan Islam ke
daerah-daerah sampai ke pedalaman Kalimantan Timur sampai daerah Muara Kaman,
dilanjutkan oleh Putranya, Aji Di Langgar dan para penggantinya.
5. Di Maluku
Kepulauan Maluku
terkenal di dunia sebagai penghasil rempah-rempah, sehingga menjadi daya tarik
para pedagang asing, tak terkecuali para pedagang muslim baik dari Sumatra,
Jawa, Malaka atau dari manca negara. Hal ini menyebabkan cepatnya perkembangan
dakwah Islam di kepulauan ini.
Islam masuk ke Maluku sekitar pertengahan abad ke 15 atau
sekitar tahun 1440 dibawa oleh para pedagang muslim dari Pasai, Malaka dan Jawa
(terutama para da’i yang dididik oleh para Wali Sanga di Jawa). Tahun 1460 M,
Vongi Tidore, raja Ternate masuk Islam. Namun menurut H.J De Graaft (sejarawan
Belanda) bahwa raja Ternate yang benar-benar muslim adalah Zaenal Abidin
(1486-1500 M). Setelah itu Islam berkembang ke kerajaan-kerajaan yang ada di
Maluku. Tetapi diantara sekian banyak kerajaan Islam yang paling menonjol
adalah dua kerajaan , yaitu Ternate dan Tidore.
Raja-raja Maluku yang masuk Islam seperti :
a. Raja Ternate yang bergelar Sultan Mahrum (1465-1486).
b. Setelah beliau wafat digantikan oleh Sultan Zaenal
Abidin yang sangat besar
jasanya dalam menyiarkan Islam di kepulauan
Maluku, Irian bahkan sampai ke
Filipina.
c. Raja Tidore yang kemudian bergelar Sultan Jamaluddin.
d. Raja Jailolo yang berganti nama dengan Sultan
Hasanuddin.
e. Pada tahun 1520 Raja Bacan masuk Islam dan bergelar
Zaenal Abidin.
Selain Islam masuk dan berkembang di
Maluku, Islam juga masuk ke Irian yang disiarkan oleh raja-raja Islam di
Maluku, para pedagang dan para muballig yang juga berasal dari Maluku. Daerah-daerah di Irian Jaya yang dimasuki Islam adalah : Miso,
Jalawati, Pulau Waigio dan Pulau Gebi.
D. Peranan Umat Islam dalam Mengusir Penjajah.
Ketika
kaum penjajah datang, Islam sudah mengakar dalam hati bangsa Indonesia, bahkan
saat itu sudah berdiri beberapa kerajaan Islam, seperti Samudra Pasai, Perlak,
Demak dan lain-lain. Jauh sebelum mereka datang, umat Islam Indonesia sudah
memiliki identitas bendera dan warnanya adalah merah putih. Ini terinspirasi
oleh bendera Rasulullah saw. yang juga berwarna merah dan putih. Rasulullah saw
pernah bersabda :” Allah telah menundukkan pada dunia, timur dan barat. Aku
diberi pula warna yang sangat indah, yakni Al-Ahmar dan Al-Abyadl, merah dan
putih “. Begitu juga dengan bahasa Indonesia.
Tidak akan bangsa ini
mempunyai bahasa Indonesia kecuali ketika ulama menjadikan bahasa ini bahasa
pasar, lalu menjadi bahasa ilmu dan menjadi bahasa jurnalistik. Beberapa
ajaran Islam seperti jihad, membela yang tertindas, mencintai tanah air dan
membasmi kezaliman adalah faktor terpenting dalam membangkitkan semangat
melawan penjajah. Bisa dikatakan bahwa hampir semua tokoh pergerakan, termasuk
yang berlabel nasionalis radikal sekalipun sebenarnya terinspirasi dari ruh
ajaran Islam.
Sebagai bukti misalnya Ki Hajar
Dewantara (Suwardi Suryaningrat) tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI);
Soekarno sendiri pernah jadi guru Muhammadiyah dan pernah nyantri dibawah
bimbingan Tjokroaminoto bersama S.M Kartosuwiryo yang kelak dicap sebagai
pemberontak DI/TII; RA Kartini juga sebenarnya bukanlah seorang yang hanya
memperjuangkan emansipasi wanita. Ia seorang pejuang Islam yang sedang dalam
perjalanan menuju Islam yang kaaffah. Ketika sedang mencetuskan ide-idenya, ia
sedang beralih dari kegelapan (jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam) atau
minaz-zulumati ilannur (habis gelap terbitlah terang). Patimura seorang
pahlawan yang diklaim sebagai seorang Nasrani sebenarnya dia adalah seorang
Islam yang taat. Tulisan tentang Thomas Mattulessy hanyalah omong kosong. Tokoh
Thomas Mattulessy yang ada adalah Kapten Ahmad Lussy atau Mat Lussy, seorang
muslim yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah. Demikian pula
Sisingamangaraja XII menurut fakta sejarah adalah seorang muslim.
Semangat jihad yang
dikumandangkan para pahlawan semakin terbakar ketika para penjajah berusaha
menyebarkan agama Nasrani kepada bangsa Indonesia yang mayoritas sudah beragama
Islam yang tentu saja dengan cara-cara yang berbeda dengan ketika Islam datang
dan diterima oleh mereka, bahwa Islam tersebar dan dianut oleh mereka dengan
jalan damai dan persuasif yakni lewat jalur perdagangan dan pergaulan yang
mulia bahkan wali sanga menyebarkannya lewat seni dan budaya. Para da’i Islam
sangat paham dan menyadari akan kewajiban menyebarkan Islam kepada orang lain,
tapi juga mereka sangat paham bahwa tugasnya hanya sekedar menyampaikan. Hal
ini sesuai dengan Q.S. Yasin ayat 17 :”Tidak ada kewajiban bagi kami hanyalah
penyampai (Islam) yang nyata”. (Q.S. Yasin : 17)
Di bawah ini hanya sebagian kecil contoh atau bukti
sejarah perjuangan umat Islam Indonesia dalam mengusir penjajah.
1. Penjajah Portugis
Kaum penjajah yang mula-mula datang ke Nusantara ialah
Portugis dengan semboyan Gold (tambang emas), Glory (kemulyaan, keagungan), dan
Gospel (penyebaran agama Nasrani).
Untuk menjalankan misinya itu Portugis berusaha dengan
menghalalkan semua cara. Apalagi saat itu mereka masih menyimpan dendamnya
terhadap bangsa Timur (Islam) setelah usai Perang Salib . Dengan modal restu
sakti dari Paus Alexander VI dalam suatu dokumen bersejarah yang terkenal
dengan nama “Perjanjian Tordesillas” yang berisi, bahwa kekuasaan di dunia
diserahkan kepada dua rumpun bangsa: Spanyol dan Portugis. Dunia sebelah barat
menjadi milik Spanyol dan sebelah timur termasuk Indonesia menjadi milik
Portugis.
Karena itu Portugis sangat bernafsu untuk menguasai
negeri Zamrud Katulistiwa yang penuh dengan rempah-rempah yang menggiurkan.
Pertama mereka menyerang Malaka dan menguasainya (1511 M), kemudian Samudra
Pasai tahun 1521 M. Mulailah mereka mengusik ketenangan berniaga di perairan
nusantra yang saat itu banyak para pedagang muslim dari Arab. Demikian pula
para pedagang dari Demak dan Malaka yang saat itu sudah terjalin sangat erat.
Portugis nampaknya sengaja ingin mematahkan hubungan Demak dan Malaka, dan
sekaligus tujuannya ingin merebut rempah-rempah yang merupakan komoditi penting
saat itu. Banyak kapal-kapal mereka dirampas oleh Portugis termasuk kapal
pedagang muslim Arab.
Dengan sikapnya yang tak bersahabat dan arogan dari
penjajah Portugis, seluruh kerajaan yang ada di Nusantara kemudian melakukan
perlawanan kepada Portugis meskipun dalam waktu dan tempat yang berlainan.
Kerajaan Aceh misalnya sempat minta bantuan kerajaan Usmani di Turki dan negara-negara
Islam lain di Nusantara, sehingga dapat membangun kekuatan angkatan perangnya
dan dapat menahan serangan Portugis. Demikian pula, mendengar perlakuan
Portugis yang zalim terhadap para pedagang warga Demak muslim, Sultan Demak dan
para wali merasa terpanggil untuk berjihad. Halus dihadapi dengan halus, keras
dilawan dengan keras. Kalau orang-orang Portugis mengobarkan semangat Perang
Salib, maka Sultan Demak dan para wali mengobarkan semangat jihad Perang Sabil.
Pada tahun 1512 Demak dibawah pimpinan Adipati Yunus
memimpin sendiri armada lautnya menyerang Portugis yang saat itu sudah
menguasai Malaka, tapi kali ini mengalami kegagalan karena persenjataan lawan
begitu tangguh penyerangan kedua kalinya dilakukan tahun 1521 dengan
mengerahkan armada yang berkekuatan 100 buah kapal dan dibantu oleh balatentara
Aceh dan Sultan Malaka yang telah terusir, yang sasarannya sama yaitu mengusir
pasukan asing Portugis dari wilayah Nusantara demi mengamankan jalur niaga dan
dakwah yang memanjang dari Malaka-Demak dan Maluku. Namun perjuangannya tidak
berhasil pula, bahkan ia gugur mati syahid dalam pertempuran tersebut. Sebab
itulah ia mendapat gelar ”Pangeran sabrang lor” artinya pangeran yang
menyebrangi lautan di sebelah utara.
Sepeninggal Adipati Yunus, perlawanan terhadap Portugis
diteruskan oleh Sultan Trenggana (1521-1546) dan juga oleh putranya Sultan
Prawoto. Meskipun pada masa Sultan Prawoto negara dalam keadaan goncang karena
perseteruan dalam negeri tapi kekuatan perang untuk melawan dan mempertahankan
diri dari serangan Portugis masih terus digalang. Diberitakan, bahwa saat itu
Demak masih sanggup membangun kekuatan militernya terutama angkatan lautnya
yang terdiri dari 1000 kapal-kapal layar yang dipersenjatai. Setiap kapal itu
mampu memuat 400 prajurit masing-masing mempunyai tugas pengamanan wilayah
Nusantara dari serangan Portugis.
Kalau perlawanan umat Islam terhadap penjajah Portugis di
Malaka mengalami kegagalan, namun terhadap penjajah Portugis di Sunda Kelapa
(Jakarta) dan Maluku memperoleh hasil yang gemilang. Adalah panglima Fatahillah
(menantu Sultan Syarif Hidayatullah) pada tahun 1526 M. memimpin pasukan Demak
menyerang Portugis di Sunda Kelapa lewat jalur laut. Mereka berhasil mengepung
dan merebutnya dari tangan penjajah Portugis, kemudian diganti namanya menjadi
Fathan Mubina diambil dari Quran Surat al-Fath ayat satu. Fathan Mubina
diterjemahkan menjadi Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal
22 Juni 1527 M, yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta.
Di Maluku, Portugis menghasut dan mengadu domba kerajaan
Islam Ternate dan Tidore. Namun kemudian rakyat Ternate sadar, sehingga mereka
dibawah pimpinan Sultan Haerun berbalik melawan Portugis. Nampaknya yang
menjadi persoalan bukan hanya faktor perdagangan atau ekonomi, tapi juga
persoalan penyebaran agama oleh Portugis. Kristenisasi secara besar-besaran
terutama pada tahun 1546 dilakukan oleh seorang utusan Gereja Katolik Roma
Fransiscus Xaverius dengan sangat ekstrimnya ditengah-tengah penduduk muslim dan
di depan mata seorang Sultan Ternate yang sangat saleh, tentu saja membuat
rakyat marah dan bangkit melawan Portugis. Lebih marah lagi ketika Sultan
Haerun dibunuh secara licik oleh Portugis pada tahun 1570. Rakyat Ternate terus
melanjutkan perjuangannya melawan Portugis dibawah pimpinan Babullah, putra
Sultan Haerun selama empat tahun mereka berperang melawan Portugis, dan
Alhamdulillah berhasil mengusir penjajah Portugis dari Maluku
2. Penjajah Belanda
Belanda pertama kali datang ke Indonesia tahun 1596
berlabuh di Banten dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, dilanjutkan oleh Jan
Pieterszoon Coen menduduki Jakarta pada tanggal 30 Mei 1619 serta mengganti
nama Jakarta menjadi Batavia. Tujuannya sama dengan penjajah Portugis, yaitu
untuk memonopoli perdagangan dan menanamkan kekuasaan terhadap
kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara. Jika Portugis menyebarkan agama Katolik
maka Belanda menyebarkan agama Protestan. Betapa berat penderitaan kaum
muslimin semasa penjajahan Belanda selama kurang lebih 3,5 abad. Penindasan,
adu domba (Devide et Impera), pengerukan kekayaan alam sebanyak-banyaknya dan
membiarkan rakyat Indonesia dalam keadaan miskin dan terbelakang adalah kondisi
yang dialami saat itu. Maka wajarlah jika seluruh umat Islam Indonesia bangkit
dibawah pimpinan para ulama dan santri di berbagai pelosok tanah air, dengan
persenjataan yang sederhana: bambu runjing, tombak dan golok. Namun mereka
bertempur habis-habisan melawan orang-orang kafir Belanda dengan niat yang
sama, yaitu berjihad fi sabi lillah. Hanya satu pilihan mereka : Hidup mulia
atau mati Syahid. Maka pantaslah almarhum Dr. Setia Budi (1879-1952)
mengungkapkan dalam salah satu ceramahnya di Jogya menjelang akhir hayatnya
antara lain mengatakan : “Jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam,
maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti apa yang
diperlihatkan oleh sejarahnya sampai kemerdekaannya”.
Sejarah telah mencatat sederetan pahlawan Islam Indonesia
dalam melawan Belanda yang sebagian besar adalah para Ulama atau para kyai
antara lain :
Di Pulau Jawa misalnya Sultan Ageng Tirtayasa, Kiyai Tapa
dan Bagus Buang dari kesultanan Banten, Sultan Agung dari Mataram dan Pangeran
Diponegoro dari Jogjakarta memimpin perang Diponegoro dari tahun 1825-1830
bersama panglima lainnya seperti Basah Marto Negoro, Kyai Imam Misbah, Kyai
Badaruddin, Raden Mas Juned, dan Raden Mas Rajab. Konon dalam perang Diponegoro
ini sekitar 200 ribu rakyat dan prajurit Diponegoro yang syahid, dari pihak
musuh tewas sekitar 8000 orang serdadu bangsa Eropa dan 7000 orang serdadu
bangsa Pribumi. Dari Jawa Barat misalnya Apan Ba Sa’amah dan Muhammad Idris
(memimpin perlawanan terhadap Belanda sekitar tahun 1886 di daerah Ciomas)
Di pulau Sumatra tercatat nama-nama : Tuanku Imam Bonjol
dan Tuanku Tambusi (Memimpin perang Padri tahun 1833-1837), Dari kesultanan
Aceh misalnya : Teuku Syeikh Muhammad Saman atau yang dikenal Teuku Cik Ditiro,
Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien, Habib
Abdul Rahman, Imam Leungbatan, Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah, dan
lain-lain.
Di Kalimantan Selatan, rakyat muslim bergerak melawan
penjajah kafir Belanda yang terkenal dengan perang Banjar, dibawah pimpinan
Pangeran Antasari yang didukung dan dilanjutkan oleh para mujahid lainnya
seperti pangeran Hidayat, Sultan Muhammad Seman (Putra pangeran Antasari),
Demang Leman dari Martapura, Temanggung Surapati dari Muara Teweh, Temanggung
Antaludin dari Kandangan, Temanggung Abdul jalil dari Amuntai, Temanggung Naro
dari buruh Bahino, Panglima Batur dari Muara Bahan, Penghulu Rasyid, Panglima
Bukhari, Haji Bayasin, Temanggung Macan Negara, dan lain-lain. Dalam perang
Banjar ini sekitar 3000 serdadu Belanda tewas.
Di Maluku Umat Islam bergerak juga dibawah pimpinan
Sultan Jamaluddin, Pangeran Neuku dan Said dari kesultanan Ternate dan Tidore.
Di Sulawesi Selatan terkenal pahlawan Islam Indonesia
seperti Sultan Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.
Sederetan Mujahid-mujahid lain disetiap pelosok tanah air
yang belum diangkat namanya atau dicatat dalam buku sejarah adalah lebih banyak
dari pada yang telah dikenal atau sudah tercatat dalam buku-buku sejarah.
Mereka sengaja tidak mau dikenal, khawatir akan mengurangi keikhlasannya di
hadapan Allah. Sebab mereka telah betul-betul berjihad dengan tulus demi
menegakkan dan membela Islam di tanah air.
3. Penjajahan Jepang
Pendudukan Jepang di Indonesia diawali di kota Tarakan
pada tanggal 10 januari 1942. Selanjutnya Minahasa, Balik Papan, Pontianak,
Makasar, Banjarmasin, Palembang dan Bali. Kota Jakarta berhasil diduduki
tanggal 5 Maret 1942.
Untuk sementara penjajah Belanda hengkang dari bumi
Indonesia, diganti oleh penjajah Jepang. Ibarat pepatah “Lepas dari mulut
harimau jatuh ke mulut buaya”, yang ternyata penjajah Jepang lebih kejam dari
penjajah manapun yang pernah menduduki Indonesia. Seluruh kekayaan alam dikuras
habis dibawa ke negerinya. Bangsa Indonesia dikerja paksakan (Romusa) dengan
ancaman siksaan yang mengerikan seperti dicambuk, dicabuti kukunya dengan tang,
dimasukkan kedalam sumur, para wanita diculik dan dijadikan pemuas nafsu sex
tentara Jepang (Geisha).
Pada awalnya Jepang membujuk rayu bangsa Indonesia dengan
mengklaim dirinya sebagai saudara tua Bangsa Indonesia (ingat gerakan 3 A yaitu
Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia). Mereka
juga paham bahwa bangsa Indonesia kebanyakan beragama Islam. Karena itu pada
tanggal 13 Juli 1942 mereka mencoba menghidupkan kembali Majlis Islam A’la
Indonesia (MIAI) yang telah terbentuk pada pemerintahan Belanda (September
1937). Tapi upaya Jepang tidak banyak ditanggapi oleh tokoh-tokoh Islam. Banyak
tokoh-tokoh Islam tidak mau kooperatif dengan pemerintah penjajah Jepang bahkan
melakukan gerakan bawah tanah misalnya dibawah pimpinan Sutan Syahrir dan Amir
Syarifuddin.
Selain itu, Jepang membubarkan organisasi-organisasi yang
bersifat politik atau yang membahayakan Jepang yang dibentuk semasa Belanda,
kemudian sebagai gantinya dibentuklah organisasi-organisasi baru misalnya
Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Cuo Sangi In (Badan pengendali politik), Jawa
Hokokai (Himpunan Kebaktian Jawa), Seinendan, Fujinkai, Keibodan, Heiho, Peta
dan lain-lain. Motif utama dibentuknya organisasi-organisasi tersebut hanyalah
sebagai kedok saja yang ternyata untuk kepentingan penjajah Jepang juga. Namun
bangsa kita sudah cerdas justru organisasi-organisasi tersebut sebaliknya
dimanfaatkannya untuk melawan penjajah Jepang. Sebagai contoh adalah
pembentukan tentara PETA (Pembela Tanah Air) pada tanggal 3 Oktober 1943 di
Bogor yang merupakan cikal bakal adanya TNI. Terbentuknya memang atas
persetujuan penjajah Jepang yang didukung oleh para alim ulama. Tercatat
sebagai pendirinya adalah KH.Mas Mansur, Tuan Guru H. Yacob, HM.Sodri,
KH.Adnan, Tuan guru H.Kholid, KH.Djoenaedi, Dr.H.Karim Amrullah, H.Abdul Madjid
dan U. Muchtar. Mereka betul-betul memanfaatkan PETA ini untuk kepentingan
perjuangan bangsa. PETA saat itu terdiri dari 68 batalion yang masing-masing
dipimpin oleh para alim ulama. Para Bintaranya adalah para pemuda Islam, dan
panji-panji tentara PETA adalah bulan bintang putih di atas dasar merah.
Tanggal 5 Oktober 1945 terbentuklah BKR (Barisan Keamanan Rakyat) yang sebagian
besar pimpinannya adalah berasal dari PETA. BKR kemudian menjadi TKR dan
selanjutnya TNI. Jadi TNI tidak mungkin ada jika PETA yang terdiri dari 68
bataliyon yang dipimpin oleh para ulama tersebut tidak ada.
Namun ada beberapa organisasi bentukan Jepang yang sangat
kentara merugikan dan bahkan berbuat aniaya terhadap bangsa Indonesia. Misalnya
melalui Jawa Hokokai rakyat secara paksa untuk mengumpulkan padi, permata, besi
tua serta menanam jarak yang hasilnya harus diserahkan kepada pemerintah
pendudukan Jepang, pelecehan, penghinaan terhadap agama Islam dan umat Islam
sudah terang-terang. Maka umat Islam di berbagai daerah bangkit menentang
penjajah Jepang, diantaranya:
a. Pemberontakan Cot Pileng di Aceh
Perlawanan ini dipimpin oleh seorang ulama muda bernama
Tengku Abdul Jalil, guru ngaji di Cot Pileng pada tanggal 10 November 1942.
Sebabnya karena tentara Jepang melakukan penghinaan terhadap umat Islam Aceh
dengan membakar masjid dan membunuh sebagian jamaah yang sedang salat subuh.
b. Pemberontakan Rakyat Sukamanah
Perlawanan ini dipimpin oleh KH. Zaenal Mustafa, pemimpin
pondok pesantren di Sukamanah Singaparna Tasik Malaya pada tanggal 25 februari
1944. Penyebabnya karena para santrinya dipaksa untuk melakukan Seikirei,
menghormat kepada kaisar Jepang dengan cara membungkukkan setengah badan ke
arah matahari. Ini tentu saja pelanggaran aqidah Islam.
c. Pemberontakan di Indramayu
Perlawanan ini dipimpin oleh H. Madriyas. Sebabnya karena
rakyat tidak tahan terhadap kekejaman yang dilakukan tentara Jepang.
d. Pemberontakan Teuku Hamid di Aceh
Perlawanan ini dipimpin oleh Teuku Hamid pada bulan
November 1944.
e. Pemberontakan PETA di Blitar
Perlawanan ini dipimpin oleh seorang komandan Pleton PETA
yang bernama Supriadi pada tahun 14 Februari 1945 di Blitar, karena mereka
tidak tahan melihat kesengsaraan rakyat di daerah dan banyak rakyat yang korban
karena dikerjapaksakan (Romusha).
4. Sekutu dan NICA
Tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia baru saja
diproklamirkan, tanggal 15 september 1945 datang lagi persoalan baru, yaitu
datangnya tentara sekutu yang diboncengi NICA (Nederland Indies Civil
Administration). Mereka datang dengan penuh kecongkakan seolah-olah paling
berhak atas tanah Indonesia sebagai bekas jajahannya. Kedatangan mereka tentu
saja mendapat reaksi dari seluruh bangsa Indonesia. Seluruh umat Islam bergerak
kembali dengan kekuatan senjata seadanya melawan tentara sekutu dan NICA yang
bersenjatakan lengkap dan modern. Perlawanan terhadap sekutu dan NICA antara
lain: Dengan taktik perang gerilya, pertempuran arek-arek Surabaya, Bandung
lautan Api, pertempuran di Ambarawa dan lain-lain.
Arsitek perang gerilya adalah Jendral Sudirman nama yang
tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Beliau sebagai panglima besar TNI
berlatar belakang santri. Pernah jadi da’i atau guru agama di daerah Cilacap
Banyumas sekitar tahun 1936-1942. Berkarir mulai dari kepanduan Hizbul Wathan
dan aktif dalam pengajian-pengajian yang diadakan oleh Muhammadiyah. Beliau
pada sebagian hidupnya adalah untuk berjuang, dan bahkan dalam kondisi sakit
sekalipun beliau terus memimpin perang gerilya ke hutan-hutan.
Sedangkan pertempuran arek-arek Surabaya dipimpin oleh
Bung Tomo. Dengan kumandang takbir, beliau mengobarkan semangat berjihad
melawan tentara Inggris di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Karena
dahsyatnya pertempuran tersebut, maka tanggal tersebut dikenang sebagai hari
pahlawan. Beliau tercatat pula dalam sejarah sebagai arsitek bom syahid. Dalam
kurun waktu perjuangan tahun 1945–1949 beliau membentuk pasukan berani mati,
yakni pasukan bom syahid yang siap mengorbankan jiwanya untuk menghancurkan
tentara sekutu dan Belanda.
Bandung lautan api adalah pertempuran dahsyat di Bandung
Utara, kemudian di Bandung Selatan dibawah pimpinan Muhammad Toha dan Ramadhan
.
E. Peranan Umat Islam dalam Mempersiapkan dan Meletakkan
Dasar-dasar Indonesia Merdeka.
Dalam upaya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, tidak
disangsikan lagi peran kaum muslimin terutama para ulama. Mereka berkiprah
dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang
dibentuk tanggal 1 maret 1945. Lebih jelas lagi ketika Badan ini membentuk
panitia kecil yang bertugas merumuskan tujuan dan maksud didirikannya negara
Indonesia. Panitia terdiri dari 9 orang yang semuanya adalah muslim atau para
ulama kecuali satu orang beragama Kristen. Mereka adalah Ir. Soekarno,
Drs.Moh.Hatta, Mr.Moh.Yamin, Mr.Ahmad Subardjo, Abdul Kahar Mujakir, Wahid
Hsyim, H.Agus Salim, Abi Kusno Tjokrosuyono dan A.A. Maramis (Kristen)
Meski dalam persidangan-persidangan merumuskan dasar
negara Indonesia terjadi banyak pertentangan antar (mengutip istilah Endang
Saefudin Ansori dalam bukunya Piagam Jakarta) kelompok nasionalis Islamis dan
kelompok nasionalis sekuler. Kelompok Nasionalis Islamis antara lain KH. Abdul
Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH.Wahid Hasyim, Ki Bagus dan Abi Kusno
menginginkan agar Islam dijadikan dasar negara Indonesia. Sedangkan kelompok
nasionalis sekuler dibawah pimpinan Soekarno menginginkan negara Indonesia yang
akan dibentuk itu netral dari agama. Namun Akhirnya terjadi sebuah kompromi
antara kedua kelompok sehingga melahirkan sebuah rumusan yang dikenal dengan
Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, yang berbunyi :
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan itu disetujui oleh semua anggota dan kemudian
menjadi bagian dari Mukaddimah UUD 45. Jadi dengan demikian Republik Indonesia
yang lahir tanggal 17 Agustus 1945 adalah republik yang berdasarkan ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya Meskipun
keesokan harinya 18 Agustus 1945 tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu
dihilangkan diganti dengan kalimat “Yang Maha Esa”. Ini sebagai bukti akan
kebesaran jiwa umat Islam dan para ulama. Muh. Hatta dan Kibagus Hadikusumo
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan” Yang Maha Esa” tersebut tidak lain
adalah tauhid.
Saat proklamasipun peran umat Islam sangat besar. 17
Agustus 1945 itu bertepatan dengan tangal 19 Ramadhan 1364 H. Proklamasi
dilakukan juga atas desakan-desakan para ulama kepada Bung Karno. Tadinya Bung
Karno tidak berani. Saat itu Bung Karno keliling menemui para ulama misalnya
para ulama di Cianjur Selatan, Abdul Mukti dari Muhammadiyah, termasuk Wahid
Hasyim dari NU. Mereka mendesak agar Indonesia segera diproklamasikan tanggal
17 Agustus 1945.
Demikian penting peran ulama di mata Bung Karno. Setelah
Indonesia diproklamasikan, Bung karno masih terus berkeliling terutama minta
dukungan para ulama dan rakyat Aceh. Di bawah pimpinan ulama-ulama Aceh seperti
Daud Beureuh, Teuku Nyak Arief, Mr. Muhammad Hasan, M.Nur El Ibrahimy, Ali
Hasyimi dan lain-lain, rakyat Aceh segera menyambut dengan gegap gempita.
Dukungan mereka bukan hanya lisan tapi juga berbentuk sumbangan materi, yaitu
berupa uang 130.000 Straits Dollar dan emas seberat 20 kg untuk pembelian
pesawat terbang.
Saat itu Soekarno sempat berjanji di hadapan Daud
Beureuh, bahkan sampai mengucapkan sumpah. ”Demi Allah, Wallahi, saya akan
pergunakan pengaruh saya agar nanti rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanaan
syari’at Islam”, demikian ucapan Soekarno untuk meyakinkan Daud Beureuh, bahwa
jika Aceh bersedia membantu perjuangan kemerdekaan, syari’at Islam akan
diterapkan di tanah Rencong ini. Tapi janji itu hanya sekedar janji, tidak
pernah diwujudkan. Inilah yang menyebabkan Daud Beureuh kemudian memberontak
kepada pemerintah pusat dan bergabung dengan S.M.Kartosuwiryo yang juga dikecewakan
oleh Soekarno, teman seperguruannya waktu nyantri di HOS Cokroaminoto.
Sesungguhnya perjuangan para ulama begitu besar dalam
mengantarkan Indonesia merdeka tidak lepas dari motivasi bagaimana Indonesia
yang akan dibangun ini harus berdasarkan syari’at Islam. Namun banyak dari
golongan nasionalis meski mereka beragama Islam (misalnya Soekarno dkk) tidak
setuju dengan cita-cita para ulama di atas. Kelompok Nasionalis inilah sangat
berperan dalam penghapusan 7 kata dalam piagam Jakarta. Inilah yang kemudian
menjadi ganjalan dan kekecewaan bagi para ulama. Sehingga beberapa tokoh Islam
seperti Kartosuwiryo (Jawa Barat), Kahar Muzakir (Sulawesi Selatan), Letnan I
Ibnu Hajar (Kalimantan Selatan) dan Daud Beureuh (Aceh) terpaksa harus angkat
senjata berjuang kembali untuk mewujudkan NII yang dicita-citakan, meskipun
mereka kemudian dicap sebagai pemberontak.
F. Peranan Organisasi-organisasi Islam dan Partai-partai
Politik Islam
Dalam perjuangan membela bangsa, Negara dan menegakkan
Islam di Indonesia, Umat Islam mendirikan berbagai organisasi dan partai
politik dengan corak dan warna yang berbeda-beda. Ada yang bergerak dalam
bidang politik, sosial budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Namun
semuanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu memajukan bangsa Indonesia khususnya
umat Islam dan melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Tercatat dalam
sejarah, bahwa dari lembaga-lembaga tersebut telah lahir para tokoh dan pejuang
yang sangat berperan baik di masa perjuangan mengusir penjajah, maupun pada
masa pembangunan.
1. Sarekat Islam (SI)
Sarekat Islam (SI) pada awalnya adalah perkumpulan bagi
para pedagang muslim yang didirikan pada akhir tahun 1911 di Solo oleh H.
Samanhudi. Nama semula adalah Sarekat Dagang Islam (SDI). Kemudian tanggal 10
Nopember 1912 berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI). H.Umar Said Cokroaminoto
diangkat sebagai ketua, sedangkan H.Samanhudi sebagai ketua kehormatan. Latar
belakang didirikannya organisasi ini pada awalnya untuk menghimpun dan
memajukan para pedagang Islam dalam rangka bersaing dengan para pedagang asing,
dan juga membentengi kaum muslimin dari gerakan penyebaran agama Kristen yang
semakin merajalela. Dengan nama Sarekat Islam dibawah pimpinan H.O.S.
Cokroaminoto organisasi ini semakin berkembang karena mendapat sambutan yang
luar biasa dari masyarakat. Daya tarik utamanya adalah asas keislamannya.
Dengan SI mereka (umat Islam) yakin akan dibela kepentingannya.
Keanggotaan SI terbuka untuk semua golongan dan suku
bangsa yang beragama Islam. Berbeda dengan Budi Utomo yang membatasi
keanggotaannya pada suku bangsa tertentu (Jawa). Sehingga banyak sejarawan
mengatakan bahwa tanggal berdirinya SI ini lebih tepat disebut sebagai Hari
Kebangkitan Nasional, dan bukan tahun 1908 dengan patokan berdirinya Budi
Utomo. Karena ruang lingkup Budi Utomo hanyalah pulau Jawa, bahkan hanya etnis
Jawa Priyayi. Sedangkan SI mempunyai cabang-cabang di seluruh Indonesia. Jadi
layak disebut “Nasional”.
Secara lahir SI tidak menyatakan diri sebagai organisasi
partai politik. Tetapi dalam sepak terjangnya jelas kelihatan sebagai
organisasi politik. Kegiatan politik dilakukan dengan sangat hati-hati dan
bertahap. Dalam kongres tahun 1914, Cokroaminoto mengatakan bahwa SI akan
bekerjasama (kooperatif) dengan pemerintah dan tidak berniat melawan
pemerintah. Dua tahun kemudian dalam kongresnya di Bandung, dia melancarkan
kritik terhadap praktek kolonialisme yang telah menyengsarakan rakyat. Dalam
kongres itu SI menuntut supaya Indonesia diberi pemerintahan sendiri dan rakyat
diberi kesempatan untuk duduk dalam pemerintahan. Semakin lama sikap SI semakin
keras. Abdul Muis salah satu tokoh SI mengatakan, jika tuntutan-tuntutan itu
tidak diindahkan pemerintah (penjajah), anggota SI bersedia membalas kekerasan
dengan kekerasan. Pada waktu pemerintah mendirikan Volksraad (Dewan Rakyat), SI
mendudukkan wakilnya dalam dewan itu, antara lain Cokroaminoto dan H. Agus
Salim. Setelah ternyata Volksrad tidak bisa dipakai sebagai lembaga untuk
memperjuangkan kemerdekaan, SI pun menarik wakilnya. Demikian SI beralih ke
strategi non-kooperatif.
Pada kongres 1917, SI mulai dimasuki pengaruh lain, yaitu
dengan masuknya orang-orang yang berfaham Marxis (komunis) seperti Semaun dan
Darsono. Bahkan pada kongresnya yang ketiga tahun 1918 pengaruh Semaun semakin
kuat. Tetapi SI masih membiarkannya demi persatuan dan kesatuan bangsa yang
saat itu sangat diperlukan dalam menghadapi pemerintah penjajah. Pada tangal 10
Oktober 1921 dalam kongres SI yang ke-6 H. Agus Salim dan Abdul Muis merangkap
menjadi anggota dan pengurus mencetuskan perlunya disiplin partai dalam tubuh
SI, antara lain seorang anggota SI tidak boleh merangkap menjadi anggota atau
pengurus di partai lain. Ini tujuan sebenarnya adalah untuk membersihkan
barisan SI dari unsur-unsur komunis. Dengan disetujuinya gagasan ini akhirnya
Semaun dan Darsono keluar dari SI. Tapi kemudian SI terpecah menjadi dua, yaitu
SI Merah dan SI Putih. SI Merah dipimpin oleh Semaun berpusat di Semarang dan
berazaskan Komunis. Adapun SI Putih dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto berazaskan
Islam.
Pada Kongres SI ke-7. SI Putih berubah nama menjadi
Partai Sarekat Islam (PSI). Pada tahun 1927 nama Partai Sarekat Islam (PSI)
ditambah dengan kata Indonesia, sehingga menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia
(PSII). Hanya sangat disayangkan partai ini kemudian menjadi terpecah belah.
Ada PSII yang dipimpin oleh Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan PSII
H. Agus Salim.
2. Muhammadiyah
Muhammadiyah secara etimologi artinya pengikut Nabi
Muhammad. Adalah sebuah organisasi non-politis yang bertujuan mengembalikan
ajaran Islam sesuai dengan al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw; memberantas
kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran agama (bid’ah) dan memajukan ilmu
agama Islam di kalangan anggotanya. Organisasi ini didirikan oleh KH. Ahmad
Dahlan di Yogyakarta pada 18 Nopember 1912. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah
yang baru, telah disesuaikan dengan UU no.8 tahun 1985 dan hasil Muktamar
Muhammadiyah ke-41 di Surakarta pada tanggal 7-11 Desember 1985, Bab 1 pasal 1
disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi
munkar yang berakidah Islam dan bersumber pada al-Quran dan Sunnah. Sifat
gerakannya adalah non-politik, tapi tidak melarang anggotanya memasuki partai
politik. Hal ini dicontohkan oleh pendirinya sendiri, KH Ahmad Dahlan, dimana
beliau juga adalah termasuk anggota Sarekat Islam.
Banyak anggota Muhammadiyah yang berjuang baik pada masa
penjajahan Belanda, Jepang, masa mempertahankan kemerdekaan, masa Orde Lama,
Orde Baru dan Masa Reformasi. Mereka tersebar di berbagai organisasi
pergerakan, organisasi partai politik dan lembaga-lembaga negara. Tokoh-tokoh
Muhammadiyah yang kita kenal seperti KH. Mas Mansur, Prof. Kahar Muzakir, Dr.
Sukirman Wirjosanjoyo adalah para pejuang yang tidak asing lagi. Demikian pula
seperti Buya Hamka, KH AR. Fakhruddin, Dr. Amin Rais, Dr. Syafi’i Ma’arif dan
Dr. Din Syamsudin adalah tokoh–tokoh Muhammadiyah yang sangat berperan dalam
pentas nasional Indonesia.
Bidang-bidang yang ditangani Muhammadiyah antara lain :
a. Sosial
Dalam bidang sosial Muhammadiyah mendirikan :
1) Panti asuhan untuk anak yatim piatu
2) Bank Syari’ah untuk membantu pengusaha lemah
3) Organisasi wanita yang bernama Aisiyah dan organisassi
kepanduan Hizbul wathan, Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah,
dan ikatan Pelajar Muhammadiyah
b. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Data tahun
1985 Muhammadiyah sudah memiliki 12400 lembaga pendidikan yang terdiri dari 37
perguruan tinggi dan sisanya adalah TK sampai SLTA. Tahun 1990 jumlah perguruan
tinggi Muhammadiyah bertambah menjadi 78 buah.
c. Kesehatan
Dalam bidang kesehatan Muhammadiyah mendirikan
Poliklinik, Rumah Sakit dan Rumah Bersalin. Data tahun 1990 telah memiliki 215
Rumah Sakit, Poliklinik dan Rumah Bersalin.
3. Al Irsyad
Organisasi ini berdiri tanggal 6 September 1914 di
Jakarta, dua tahun setelah Muhammadiyah berdiri, dan bisa dibilang sebagai
sempalan dari Jami’atul Khair. Diantara tokoh al-Irsyad yang terkenal adalah
syeikh Ahmad Surkati, berasal dari Sudan yang semula adalah pengajar di
Jami’atul Khair. Al Irsyad ini mengkhususkan diri dalam perbaikan (pembaharuan)
agama kaum muslimin khususnya keturunan Arab Sebagian tokoh Muhammadiyah pada
awal berdirinya juga adalah kader-kader yang dibina dalam lembaga pendidikan
AlIrsyad. Saat itu al-Irsyad sudah memiliki Madrasah Awaliyah (3 tahun),
Madrasah Ibtidaiyah (4 tahun), Madrasah Tajhiziyah (2tahun), dan Madrasah
Mu’allimin yang dikhususkan untuk mencetak guru.
Al-Irsyad bergerak bukan hanya dalam bidang pendidikan,
tapi juga bidang-bidang lain seperti rumah sakit, panti asuhan dan rumah yatim
piatu.
4. Nahdlatul Ulama
(NU) artinya kebangkitan para ulama. Adalah sebuah
Organisasi sosial keagamaan yang dipelopori oleh para ulama atau kiyai. Mereka
itu ialah K.H.Hasyim Asy’ari, K.H.Wahab Hasbullah, K.H.Bisri Syamsuri, K.H.Mas
Alwi , dan K.H.Ridwan. Lahir di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 dan kini
menjadi salah satu organisai dan gerakan Islam terbesar di tanah air. Bertujuan
mengupayakan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Waljama’ah dan
penganut salah satu dari empat mazhab fiqih (Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam
Hambali dan Imam Maliki).
Pada mulanya NU ini tidak mencampuri urusan politik. Ia
lebih memfokuskan diri pada pengembangan dan pemantapan paham keagamaannya
dalam masyarakat yang saat itu sedang gencar-gencarnya penyebaran faham
Wahabiyah yang dianggap membahayakan paham ahli Sunnah Waljama’ah. Hal ini
tersirat dalam salah satu hasil keputusan kongresnya di Surabaya pada bulan
Oktober 1928.
NU semakin berkembang dengan cepat. Pada tahun 1935 telah
memiliki 68 cabang dengan anggota 6700 orang. Pada kongres tahun 1940 di
Surabaya dinyatakan berdirinya organisasi wanita NU atau Muslimat dan Pemuda
Anshar.
Pada perkembangan selanjutnya, NU mengubah haluannya.
Selain sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang sosial keagamaan, juga
mulai ikut dalam kehidupan politik. Tahun 1937 bergabung dengan Majlis Islam
A’la Indonesia (MIAI). Hal ini terus berlangsung sampai dibubarkannya pada masa
penjajahan Jepang tahun 1943, yang kemudian diganti Masyumi. Dalam Masyumi, NU
adalah bagian yang sangat penting sampai tahun 1952. Dalam Muktamarnya yang ke
19 tanggal 1 Mei 1952 menyatakan diri keluar dari Masyumi dan menjadi partai
politik tersendiri. Kemudian NU bersama dengan PSII dan Perti membentuk Liga
Muslim Indonesia sebagai wadah kerja sama partai politik dan organisasi Islam.
Dalam Pemilu tahun 1955 NU muncul sebagai partai politik terbesar ke tiga. Pada
masa orde baru NU bersama partai politik lainnya (PSII, Parmusi, Perti)
berfungsi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemudian sejak tahun 1984
NU menyatakan diri kembali ke khittah 1926, artinya melepaskan diri dari
kegiatan politik, meskipun secara pribadi-pribadi anggotanya tetap ikut
berkiprah dalam berbagai partai politik.
Pada masa reformasi (1999) para tokoh NU yang dimotori
oleh KH. Abdurrahman Wahid mendirikan partai politik, Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) yang kemudian termasuk 5 besar pemenang Pemilu pada tahun tersebut.
Melalui poros tengah, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai pemimpin NU saat itu
berhasil menjadi orang nomor satu di RI, meskipun hanya berumur satu tahun.
Peranan NU sebagai organisasi dalam perjuangan mengusir
penjajah dan mempertahankan kemerdekaan tidak diragukan lagi. Bahkan para kyai
dan santri memikul senjata (bambu runcing atau golok) untuk berjihad fi
sabilillah. Tercatat dalam sejarah tanggal 23 Oktober 1945 NU mengeluarkan
Resolusi Jihad untuk melawan tentara penjajah.
5. Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI)
MIAI ini sebenarnya berdiri pada masa pemerintahan
Belanda, yaitu tanggal 21 September 1937 di Surabaya sebagai organisasi
federasi yang diprakarsai oleh K.H. Mas Mansur, K.H. Ahmad Dahlan
(Muhammadiyah), K.H. Wahab Hasbullah (NU) dan Wondoamiseno (PSII).
Tujuan didirikan MIAI ini adalah agar semua umat Islam
mempunyai wadah tempat membicarakan dan memutuskan semua soal yang dianggap
penting bagi kemaslahatan umat dan agama Islam. Keputusan yang diambil MIAI
harus dilaksanakan oleh semua organisasi yang menjadi anggotanya.
Pembentukan MIAI mendapat sambutan dari berbagai
organisasi Islam di Indonesia seperti PSII, Muhammadiyah, NU, Persis, dan
organisasi-organisasi yang lebih kecil lainnya. Pada waktu dibentuk anggotanya
hanya 7 organisasi, tapi empat tahun kemudian jumlahnya sudah mencapai
duapuluh.
Pada akhir pemerintahan Hindia Belanda MIAI memberikan
dukungan terhadap aksi Indonesia berparlemen yang dicanangkan oleh GAPI
(Gabungan Politik Indonesia). Pada waktu GAPI menyusun rencana konstitusi untuk
Indonesia, MIAI menghendaki agar yang menjadi kepala negara adalah orang
Indonesia yang beragama Islam dan dua pertiga dari menteri-menteri harus orang
Islam.
Ketika Jepang datang ke Indonesia seluruh organisasi yang
ada di Indonesia dibekukan, termasuk MIAI. Tapi khusus MIAI tanggal 4 September
1942 diperbolehkan aktif kembali. Jepang melihat bahwa MIAI bersifat kooperatif
dan tidak membahayakan. Selain itu Jepang berharap dapat memanfaatkan MIAI ini
untuk memobilisasi gerakan umat Islam guna menopang kepentingan penjajahannya.
Selain itu, Jepang juga membantu perkembangan kehidupan agama. Kantor urusan
agama yang pada masa Belanda diketuai oleh seorang orientalis Belanda, diubah
oleh Jepang menjadi Shumubu (Kantor Urusan Agama) yang dipimpin oleh orang
Indonesia, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari. Umat Islam pada saat itu juga diizinkan
membentuk Hizbullah yang memberikan pelatihan kemiliteran bagi para pemuda
Islam, yang dipimpin oleh K.H.Zaenal Arifin. Demikian pula diizinkan mendirikan
Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar
Muzakir dan Moh. Hatta.
MIAI berkembang menjadi organisasi yang cukup penting
pada masa pendudukan Jepang. Para tokoh Islam dan para Ulama memanfaatkannya
sebagai tempat bermusyawarah membahas masalah-masalah yang penting yang
dihadapi umat Islam. Semboyannya terkenal Berpegang teguhlah kepada tali Allah
dan janganlah bercerai berai.
Diantara tugas MIAI ialah:
a. Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam
masyarakat Indonesia
b. Mengharmoniskan Islam dengan kebutuhan perkembangan
zaman
MIAI juga menerbitkan majalah tengah bulanan yang bernama
Suara MIAI. Meskipun pada awalnya MIAI tidak menyentuh kegiatan politik, tetapi
dalam perkembangan selanjutnya kegiatan-kegiatannya tidak bisa lagi dipisahkan
dengan politik yang bisa membahayakan pemerintah Jepang. Akhirnya pada tanggal
24 Oktober 1943 MIAI dibubarkan. Sebagai gantinya berdirilah Masyumi.
6. Masyumi
Masyumi kepanjangan dari Majlis Syura Muslimin Indonesia
berdiri tahun 1943. Dalam Muktamar Islam Indonesia tanggal 7 Nopember 1945
disepakati bahwa Masyumi adalah sebagai satu-satunya partai Islam untuk rakyat
Indonesia. Saat itu juga Masyumi mengeluarkan maklumat yang berbunyi :” 60
Milyoen kaum muslimin Indonesia siap berjihad fi sabilillah “, Pernyataan ini
direkam dengan baik oleh harian Kedaulatan Rakyat pada tanggal 8 Nopember 1945.
Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Mas Mansur dan didampingi K.H.Hasyim Asy’ari.
Tergabung dalam organisasi ini adalah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis,
dan Sarekat Islam. Tokoh-tokoh lain yang penting misalnya Ki Bagus Hadikusumo,
Abdul Wahab dan tokoh-tokoh muda lainnya misalnya Moh. Natsir, Harsono
Cokrominoto, dan Prawoto Mangunsasmito.
Visi Masyumi bahwa setiap umat Islam diwajibkan jihad Fi
sabilillah dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang politik. Para pemuda
Islam, khususnya para santri dipersiapkan untuk berjuang secara fisik maupun
politis. Masyumi dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960. Sementara
organisasi-organisasi yang semula bergabung dalam Masyumi sudah mengundurkan
diri sebelumnya, seolah-olah mereka tahu bahwa Masyumi akan dibubarkan.
7. Mathla’ul Anwar
Organisasi ini berdiri tahun 1905 di Marus, Menes Banten.
Bergerak dalam bidang sosial keagamaan dan pendidikan. Pendirinya adalah KH. M.
Yasin. Tujuannya adalah untuk mengembangkan pendidikan Islam khususnya di
kalangan masyarakat sekitar Menes Banten. Aspirasi politik organisasi ini
pernah disalurkan melalui Sarekat Islam (SI), tapi perkembangan selanjutnya
organisasi ini menjadi netral, artinya tidak ikut dalam kegiatan politik, tapi
hanya mengkhususkan diri pada kegiatan sosial dan pengembangan pendidikan
Agama. Berkat memfokuskan diri pada pendidikan, organisasi ini sekarang sudah
menjadi organisasi berskup nasional. Lembaga-lembaga pendidikannya berupa
madrasah-madrasah dari mulai TK sampai Madrasah Aliyah (setingkat SMA) tersebar
di seluruh Nusantara.
8. Persatuan Islam (Persis)
Persis adalah organisasi sosial pendidikan dan keagamaan.
Didirikan pada tanggal 17 September 1923 di Bandung atas prakarsa KH. Zamzam
dan Muhammad Yunus, dua saudagar dari kota Palembang. Organisasi ini diketuai
pertama kali oleh A. Hassan, seorang ulama yang terkenal sebagai teman dialog
Bung Karno ketika ia dipenjara. Bung Karno banyak berdialog dengan A.Hassan
lewat surat-suratnya. Pemikiran-pemikiran keagamaan Bung Karno selain dari HOS
Cokroaminoto, juga banyak berasal dari A.Hassan ini.
. Diantara tujuan Persis ini adalah :
a. Mengembalikan kaum Muslimin kepada Al-Quran dan Sunnah
(hadis nabi)
b. Menghidupkan ruh jihad dan ijtihad dalam kalangan umat
Islam
c. Membasmi bid’ah, khurafat dan takhayul, taklid dan syirik
dalam kalangan umat Islam
d. Memperluas tersiarnya tabligh dan dakwah Islam kepada
segenap lapisan masyarakat
e. Mendirikan madrasah atau pesantren untuk mendidik
putra-putri muslim dengan dasar Quran dan Sunnah.
9. Organisasi Pelajar, Mahasiswa dan Kepemudaan Islam
Organisasi pelajar, mahasiswa dan kepemudaan Islam sangat
besar sekali peranannya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan
memajukan bangsa Indonesia. Jong Islamiten Bond (JIB) misalnya lahir tahun 1925
yang telah melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti M. Natsir, Moh.Roem, Yusuf
Wibisono, Harsono Tjokroaminoto, Syamsul Ridjal dan lain sebagainya.
Dari masa-masa tahun enam puluhan hingga kini peran
kepemudaan Islam lebih didominasi oleh organisasi-organisasi seperti HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) lahir 5 Pebruari 1947, PII (Pelajar Islam
Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah). Organisasi-organisasi pelajar dan kemahasiswaan tersebut telah
melahirkan banyak pemimpin nasional, antara lain misalnya Akbar Tanjung (mantan
Ketua DPR) dan Nurcholis Majid Almarhum (Ketua Yayasan Paramadina) adalah
Alumni HMI; Din Syamsudin (Sekjen MUI) adalah alumni IMM; Muhaimin Iskandar
(Ketua PKB) adalah alumni PMII, dan banyak lagi contoh-contoh lain dari
tokoh-tokoh nasional yang dikader oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan di
atas.
Baik secara pribadi ataupun secara organisasi para
anggota dan alumni organisasi tersebut di atas banyak terlibat dalam berbagai
gerakan nasional. Misalnya pada masa krisis Zaman Orde Lama, saat mereka
berhadapan dengan Gerakan Komunis. Mereka sangat kuat mengkritisi rezim
Soekarno. Rezim Soekarno tumbang diganti dengan Orde Baru yang tidak terlepas
dari peran pemuda dan mahasiswa yang menamakan dirinya dengan Angkatan 66.
Angkatan 66 ini sebagian besar adalah juga para anggota dari berbagai
organisasi mahasiswa Islam. Sebut saja misalnya Fahmi Idris, Ekky Syahruddin,
Abdul Gafur, Mar’i Muhammad, Akbar Tanjung dan lain sebagainya. Demikian pula
di akhir zaman Orde Baru, mereka dapat mewarnai Gedung DPR/MPR sehingga ada
istilah “hijau royo-royo” dan banyak juga yang direkrut untuk mengisi Kabinet
Soeharto.
Menjelang kejatuhan Orde Baru, para pemuda dan mahasiswa
atau pelajar Islam, baik yang tergabung dalam HMI, PMII, PII, IPPNU, KAPI,
KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), GPI (Gerakan Pemuda Islam)
dan Pemuda Anshar turut aktif mengambil bagian dalam menumbangkan Rezim
Soeharto.
10. Departemen Agama
Departemen Agama dulu namanya Kementerian Agama.
Didirikan pada masa Kabinet Syahrir yang mengambil keputusan tanggal 3 Januari
1946, dengan Menteri Agama yang pertama adalah M. Rasyidi. Tujuan dan fungsi
Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967 sebagai berikut :
a. Mengurus serta mengatur pendidikan agama di
sekolah-sekolah serta membimbing perguruan-perguruan agama.
b. Mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan
dengan agama dan keagamaan.
c. Memberi penerangan dan penyuluhan agama.
d. Mengurus dan mengatur Peradilan Agama serta
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hukum agama.
e. Mengatur, mengurus dan mengawasi penyelenggaraan
Ibadah Haji.
f. Mengurus dan memperkembangkan IAIN, Perguruan Tinggi
Agama Swasta dan Pesantren serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada
perguruan-perguruan tinggi agama Islam.
11. Peran Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga Pendidikan Islam yang tertua di Indonesia adalah
pesantren. Kehadiran pesantren ini hampir bersamaan dengan kehadiran Islam di
Indonesia itu sendiri. Alasannya sangat sederhana, Islam sebagai agama dakwah
disebarkan melalui proses transmisi ilmu dari ulama atau kyai kepada masyarakat
(tarbiyah wat ta’lim atau ta’dib). Proses ini berlangsung di Indonesia melalui
pesantren.
Dari awal keberadaannya pesantren telah menunjukkan
perannya yang sangat besar dalam pembinaan bangsa. Islam sebagai pandangan
hidup membawa konsep baru tentang Tuhan, kehidupan, waktu, dunia dan akhirat,
bermasyarakat, keadilan, harta dan lain-lain. Dengan pandangan hidup tersebut,
masyarakat lalu mengembangkan semangat pembebasan dan perlawanan terhadap
penjajah. Pemberontakan petani di Banten tahun 1888 Perang masyarakat Aceh
melawan Belanda tahun 1873 dan perang-perang lainnya di seluruh daerah di
Indonesia hampir tidak terlepas dari peran pesantren dan santrinya.
Dizaman pergerakan pra-kemerdekaan tokoh-tokoh nasional
seperti HOS Cokroaminoto, KH. Mas Mansur, KH Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan,
Ki Bagus Hadikusumo, KH Kahar Muzakar dan lain-lain adalah alumni-alumni
pesantren. Sesudah kemerdekaan pesantren juga telah melahirkan tokoh-tokoh
kaliber nasional seperti Moh. Rasyidi (Menteri Agama Pertama), Moh. Natsir
(Mantan Perdana Menteri), KH. Wahid Hasyim, KH. Idham Kholid (Mantan Wakil
Perdana Menteri dan Ketua MPRS). Demikian juga tokoh-tokoh nasional saat ini
seperti Amien Rais (mantan Ketua MPR), Abdurrahman Wahid (Mantan Presiden RI),
Hidayat Nurwahid (Ketua MPR), Hasyim Muzadi (Ketua PB NU), Nurcholis Majid
(Almarhum Rektor Paramadina) dan lain-lain adalah orang-orang yang tidak
terlepas dari pesantren.
Keistimewaan atau ciri khas pesantren hingga bisa eksis
sampai saat ini antara lain adalah
a. Penguasaan bahasa asing terutama bahasa Arab.
b. Penguasaan kitab-kitab kuning yang merupakan sumber
penting ilmu-ilmu keislaman.
c. Penanaman jiwa mandiri, sebab biasanya para santri
tinggal di asrama. Mereka harus hidup mandiri tanpa dekat dengan orang tua.
d. Penanaman hidup disiplin, menghargai teman, hormat
sama guru (kyai) dan sabar serta istiqomah dalam melaksanakan proses
pembelajaran (tarbiyah, ta’dib dan ta’lim).
Biasanya pendidikan pesantren tidak dibatasi oleh waktu,
sehingga seorang santri bisa sepuas-puasnya menimba ilmu sama kyai sampai ia
diizinkan untuk meninggalkan pesantrennya, kemudian pindah ke pesantren lain
untuk mencari ilmu yang lebih tinggi.
Sistim pengajaran selain sistim Klasikal, juga sistim
Individual (sorogan), yaitu seorang santri bisa belajar ngaji atau membaca
kitab dibimbing secara langsung oleh seorang guru atau kyai, sehingga bisa
lebih komunikatif antara guru dengan santri.
Pada perkembangan berikutnya sebagian besar pesantren
baik di Jawa maupun di luar Jawa, dilengkapi dengan lembaga pendidikan yang
dikenal istilah Madrasah. Dari mulai Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD),
Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP), Madrasah Aliyah (setingkat SMA) dan selanjutnya
para lulusannya bisa melanjutkan ke IAIN atau perguruan tinggi agama lainnya.
Perbedaan Pesantren dengan Madrasah antara lain : di Pesantren khusus
mempelajari ilmu-ilmu agama, tapi di Madrasah biasanya juga dipelajari
ilmu-ilmu umum. Pesantren biasanya tidak menggunakan kurikulum yang resmi
(formal), tapi di Madrasah sudah menggunakan kurikulum resmi dan baku, terutama
kurikulum dari Departemen Agama.
12. Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Majlis Ulama ini sebenarnya sudah berdiri sejak jaman
pemerintahan Soekarno, tetapi baru di tingkat daerah. Di Jawa Barat misalnya
majlis ini berdiri tanggal 12 Juli 1958. Pada tanggal 21 sampai 27 Juni 1975
diadakan Musyawarah Nasional I Majlis Ulama seluruh Indonesia di Jakarta yang
dihadiri oleh wakil-wakil Majlis Ulama propinsi. Ketika itulah Majlis Ulama
tingkat Nasional berdiri dengan nama Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Fungsi MUI antara lain :
a. Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan
dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma’ruf
nahi munkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
b. Mempererat ukhuwah Islamiyah dan memelihara serta
meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan
dan kesatuan bangsa.
c. Mewakili umat Islam dalam konsultasi antara umat
beragama.
d. Penghubung antara Ulama dan Umara (pemerintah) serta
menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna menyukseskan
pembangunan nasional.
Sejak berdiri sampai saat ini sudah banyak fatwa-fatwa
MUI dikeluarkan antara lain menyangkut :
a. Hukum natal bersama bagi umat Islam
b. Aliran-aliran Islam sesat di Indonesia
c. Fatwa tentang bunga bank konvensional
d. Fatwa tentang bayi tabung dan inseminasi buatan
e. Fatwa tentang faham pluralisme dan sekularisme
f. Fatwa tentang perkawinan beda agama
g. Dan lain-lain
Ulama yang pernah menduduki jabatan ketua MUI antara lain
:
a. Prof.Dr. Hamka (1975- 1981)
b. KH. Syukri Ghozali (1981- 1984)
c. KH. EZ. Muttaqien (1984- 1985)
d. KH. Hasan Basri (1985- 1995)
e. H. Amidhan
13. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)
ICMI berdiri pada 7 Desember 1990 sebagai sebuah
organisasi yang menampung para cendekiawan muslim yang mempunyai komitmen pada
nilai-nilai keislaman, tanpa melihat aliran, warna politik dan kelompok. ICMI
sebagai wadah tempat berdialog para intelektual guna memecahkan
persoalan-persoalan bangsa. Organisasi ini pertama kali dipimpin oleh Prof.
Dr.BJ. Habibie, kemudian Ahmad Tirto Sudiro dan Adi Sasono.
ICMI bergerak berlandaskan tiga hal :
a. Iman sebagai landasan moral untuk memicu prestasi
taqwa
b. Pancasila dan UUD 45 sebagai azas filosofis dan
konstitusional kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
c. Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat dan sarana
bagi peningkatan mutu kehidupan.
Sasaran jangka panjang adalah peningkatan kualitas ilmu,
kualitas hidup, kualitas kerja, kualitas berkarya dan kualitas berfikir bangsa
Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Organisasi ini berkembang cukup cepat. Terbukti saat
Silaknas I ( 5-7 Desember 1991) jumlah anggotanya sekitar 15000 orang. Pada
Nopember 1993 ICMI sudah mempunyai 32 Orwil (Organisasi Wilayah), yakni 28 di
dalam negeri dan 4 di luar negeri ( Eropa, Timur Tengah, Amerika Serikat dan
Pasifik). ICMI sudah memiliki 309 Orsat (Organisasi Satuan), yakni 277 di dalam
negeri dan 32 di luar negeri.