Kamis, 16 Januari 2014

Curhat si Penulis Amatiran

Bismillah…
Apa kabar, kawan-kawan? Semoga selalu sehat yaaaaa J

Seperti yang kawan-kawan sekalian tahu, saya jarang mengisi blog. Saya mulai menulis karena saya memiliki pemikiran, dengan tulisan manfaatnya itu akan terus tersebar dan turun-menurun, apalagi kalau disimpan di blog. Sehingga memudahkan semua orang untuk menemukannya.
Kalau ditanya, Witsqa punya gak sih bakat menulis? Dengan tegas saya jawab, Tidak!
Namun, saya suka membagikan ilmu yang saya punya. Supaya terus dan terus berkembang.
Nah suatu hari ada ajang lomba gitu, 30 orang yang beruntung akan dimuat di buku hasil karya nya itu. Saya tidak berharap banyak, namun taka da salahnya juga saya mencoba, iya kah? Yah. Rezeki mah Allah yang ngatur. Jikalau terpilih Alhamdulillah, jikalau tidak ya tak apa J
Berikut adalah karangan yang saya kirimkan. Kisah nyata loh ini… hihihi

“Pergi Untuk Kembali”
“Bertualanglah sejauh mata memandang. Mengayuhlah sejauh lautan terbentang. Bergurulah sejauh alam terkembang.”, - Rantau 1 Muara, karya A. Fuadi.
Tepat didepan wajahku, sayup-sayup terdengar perkataan yang sedikit menggores hati, “Orang manja sepertimu mana bisa?”. Opini tersebut sempat menghantuiku, hingga membuatku ingin memberikan pembuktian untuk mematahkan prasangka tersebut. Namun, Astagfirullah, istigfar sebanyak-banyaknya kuhaturkan, tak seharusnya niatku berbelok hanya karna hal semacam itu. Ya, takut dan keraguan pun sempat menggoyahkan hati ini tepat beberapa hari sebelum keberangkatanku ke dataran asing ini, Turki. Namun kubulatkan tekad dan niat utamaku, yakni untuk meraih ridha Illahi, mencari ilmu yang banyak dengan harapan ilmu yang kudapatkan itu bisa bermanfaat. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk khalayak. Aamiin.
Rantau. Tak kusangka kini aku adalah seorang yang merantau. Hal yang tak pernah terbesit sedikit pun dalam benak ini jikalau aku akan menjadi seorang perantau. Turki, tanpa ragu kubidikkan rantauan pertamaku di negara dengan komposisi muslim yang cukup banyak ini.
İni adalah kali pertamaku dipisahkan oleh dimensi jarak dan waktu dengan keluarga. Tak ada air mata sedikitpun yang aku teteskan di detik-detik perpisahanku dengan keluarga. Bukan karena aku tak merasakan kesedihan, namun aku tlah terikat janji dengan wanita yang senantiasa membesarkanku tanpa pamrih itu, Ibu. Ya, aku berjanji takkan menangis di hari kepergianku, aku akan meninggalkan keluargaku dengan senyuman dan tawa. İtu janjiku. Dan, aku berhasil! Aku diberi nama Witsqa yang artinya wanita yang kuat (hatinya), namun namaku tak sesuai dengan kenyataan di hari itu. Sesungguhnya hari itu sangat menyesakkan dada. Sangat. Aku tahu tatapan hangatnya, peluk cinta kasihnya, terselip kesedihan, kesukaran melepas putri satu-satunya untuk pergi nun jauh ke sana. Hari itu pun terasa lain, kakak dan adik laki-lakiku, seorang yang sangat dingin dan selalu menyembunyikan rasa kepeduliannya masing-masing itu dengan tiba-tiba memelukku dengan erat, meski aku tahu sebenarnya mereka melakukan hal tersebut dibawah paksaan tanteku, namun itu sangat berarti bagiku. Aku berharap ini adalah perpisahan terindah. Tunggu.. Aku akan kembali untuk kalian! J
Merantaulah.. agar kamu tahu bagaimana rasanya rindu dan kemana kau harus pulang.
Merantaulah.. engkau akan tahu betapa berharganya waktu bersama keluarga.
Merantaulah.. engkau akan mengerti alasan kenapa kau harus kembali.
Merantaulah.. akan tumbuh cinta yang tak pernah hadir sebelumnya, pada kampung halamanmu, pada mereka yang kau tinggalkan.
Merantaulah.. engkau akan menghargai tiap detik waktu yang kamu lalui bersama ibu, bapak, adik dan kakak, ketika kamu pulang ke rumah.
Merantaulah.. engkau akan lebih paham kenapa orang tuamu berat melepasmu pergi jauh.
Merantaulah.. engkau akan lebih mengerti arti sebuah perpisahan.
Merantaulah.. semakin jauh tanah rantauan, semakin jarang pulang, semakin terasa betapa berharganya pulang.” – anonim.
Kalian tahu apa yang membuatku terkesima dengan negara Turki ini? Disaat mereka sangat memfasilitasi orang-orang yang cacat, tanpa mengurangi rasa penghormatan dan dengan rendah hatinya mereka berkata, “Sarana prasana yang kami berikan untuk orang-orang yang cacat itu belumlah banyak.”, Subhanallah, ini adalah sedikit catatan kecil yang kusimpan, yang kuharap dapat diterapkan di Bumi Pertiwi.
Turki juga membuatku lebih berani merangkai mimpi setinggi-tingginya, membuat mataku terbuka lebih lebar lagi, lebih menatap kedepan dan memberikanku segala pengalaman yang sangat berharga yang takkan mungkin kudapatkan jika aku tetap berdiri bersama keluargaku. Lucu. Memalukan. Mengesalkan. Menyedihkan. Mengharukan. Semua tlah kulalui selama lebih kurang 5 bulan ini.
Terimakasih Allah, berikan aku sebongkah kebahagiaan yang tak mampu kuungkapkan dalam untaian kata-kata. Tak ada sesuatupun yang aku ketahui selain ketentuan-Mu yang lebih indah dibandingkan rencana-rencanaku.
Terimakasih Turki, izinkan aku rasakan menjadi pejuang sesungguhnya. Ajarkan aku bagaimana caranya menyapa kehidupan dengan penuh senyuman dan rasa syukur.
Ya, memang aku pergi ke Turki untuk kembali ke Tanah Air tercinta. Tapi, bukan dengan tangan kosong. Nantikanku, aku akan kembali membawa sejuta pelangi, sejuta senyum, dan sejuta manfaat. Bukan hanya aku, tapi kami, seluruh pelajar dari seluruh penjuru dunia. Kami akan kembali untuk memekarkan senyuman İndonesia tercinta. Tanah Air Jaya.

Langkahkan Kakimu Tanpa Ragu
“Bertualanglah sejauh mata memandang. Mengayuhlah sejauh lautan terbentang. Bergurulah sejauh alam terkembang.”, - Rantau 1 Muara, karya A. Fuadi.
Merantau adalah kata yang mudah diucap, namun melaksanakannya, tak semudah mengucapkannya. Membutuhkan persiapan mental dan fisik, juga pemikiran yang matang. Siapkah kita jauh dari keluarga kita? Siapkah kita hidup di lingkungan baru yang sama sekali tidak kita ketahui sebelumnya? Namun, ketika ridha orang tua sudah ada di tanganmu, keberanian telah tumbuh di dadamu, janganlah ragu untuk melangkah, merantau, untuk menggapai mimpi dan cita. Karena jika orang tua telah memberikan ridha nya, insya Allah, Allah SWT pun memberikan ridha-Nya untuk kita menuntut ilmu di jalan yang ia ridhai.
Merantaulah.. agar kamu tahu bagaimana rasanya rindu dan kemana kau harus pulang.
Merantaulah.. engkau akan tahu betapa berharganya waktu bersama keluarga.
Merantaulah.. engkau akan mengerti alasan kenapa kau harus kembali.
Merantaulah.. akan tumbuh cinta yang tak pernah hadir sebelumnya, pada kampung halamanmu, pada mereka yang kau tinggalkan.
Merantaulah.. engkau akan menghargai tiap detik waktu yang kamu lalui bersama ibu, bapak, adik dan kakak, ketika kamu pulang ke rumah.
Merantaulah.. engkau akan lebih paham kenapa orang tuamu berat melepasmu pergi jauh.
Merantaulah.. engkau akan lebih mengerti arti sebuah perpisahan.
Merantaulah.. semakin jauh tanah rantauan, semakin jarang pulang, semakin terasa betapa berharganya pulang.” – anonim.
Kutipan tersebut menjelaskan akan pentingnya merantau. Dengan merantau, kita akan lebih mensyukuri segala apa yang telah kita miliki selama ini, menghargai kehadiran sanak-saudara disekeliling kita, dan mendapatkan ilmu yang langka dan tak ternilai harganya, yakni ilmu kehidupan. Hidup yang menjadi guru bisu yang memberikan makna dan arti hidup yang sesungguhnya. Bukanlah kejayaan yang kau kejar dari merantau, melainkan pengalaman yang akan menjadi guru terhebat sepanjang masa.
Saya adalah salah satu insan-Nya yang diberikan kesempatan untuk mendapatkan rezeki dan mengemban amanah untuk melanjutkan studi ke Turki. Turki, negeri indah nan elok yang kaya akan peninggalan sejarah islam ini adalah tanah asing pertama yang saya injak. Kenyataan ini terasa seperti terlelap dalam mimpi yang indah, teramat indah. Tak semua orang bisa mendapatkan kesempatan untuk menikmati keindahan ciptaan-Nya di sisi bumi yang berlainan. Ya, kita memang berhak membuat rencana, namun rencana Illahi-lah yang lebih indah.
Hidup seketika berubah ketika saya memulai menjalani rutinitas di Turki. Bagaikan kuncup bunga yang bermekaran. Setiap harinya selalu ada cerita baru yang memberikan warna cerah dalam catatan hidup saya. Disini, setiap harinya saya belajar. Belajar bagaimana menjaga diri dan mengontrol diri, karena tak ada lagi orang tua yang senantiasa disisi yang selalu memberikan teori yang dikemas dalam lontaran nasihat-nasihat setiap harinya. Disini adalah tempat saatnya mengimplementasikan segala teori tersebut.
Dari Turki, saya diizinkan untuk merasakan bagaimana rasanya merantau, bagaimana rasanya merindu, bagaimana caranya bersabar, bagaimana seharusnya saya mensyukuri nikmat, dan yang terpenting bagaimana hidup yang sebenar-benarnya hidup.
Ayo kepakkan sayapmu, leburkan segala keraguanmu, melangkahlah.
Merantaulah, dan rasakan sensasinya.

Oh iya, ini adalah tiga hal yang cocok masuk kedalam kantung baju kita:
1.      Man Jadda Wa Jadaa
Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil
2.      Man Shobaru Zhafira
Siapa yang bersabar akan beruntung
3.      Man Yazro Yahsud
Siapa yang menanam, akan menuai yang ditanam
Jadikanlah kediga hal tersebut modal hidup dan modal ketika kesulitan melanda

Agak sedikit rumpang, hehehe. Tidak sedikit deh, buanyaaakkk. Dengan konsep yang sama saya membuat 2 buah tulisan yang diatas tersebut. Yang pertama lebih berbagi pengalaman nyata dan yang kedua agak sedikit formal. Di detik-detik pengiriman berkas tersebut barulah teringat, mengapa tidak membuat sesuatu yang berbeda. Yang lucu gitu. Yah sayangnya tak banyak waktu yang saya punya. Secepat kilat, langsung saja saya kirimkan. Hehehe.. Imajinasi lebay bin alay saat menulis belum menghampiri. Jadinya begitu deh. Hihihi. Maaf ya, saya tranparan aja nih sama readers sekalian.

Thanks to:
Mba Evi dan Kak Andika yang udah ngasih tau dan ngajakin Witsqa buat ikutan ini J

Terima Kasih. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembacanya.
Kritik dan saran bisa dilampirkan J
Mohon maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan, karena tujuan saya hanya ingin sharing pengalaman.