[Copas dari Grup Whatsapp]
Ada sebuah kisah menarik yang dituangkan
Lisa Bloom, pengarang ‘Think: Straight Talk for Women to Stay Smart in a Dumbed-Down World’.
Menurutnya, anak perempuan sekarang
bertumbuh dengan keinginan besar untuk tampil cantik, daripada tampil pintar.
Mereka lebih khawatir kalau mereka tampak gemuk dan jelek.
Dalam bukunya, ia menunjukkan bahwa 15-18%
anak perempuan di bawah dua belas tahun saat ini sudah memakai maskara,
eyeliner dan lipstik. Kepercayaan diri anak perempuan menurun kalau tidak
merasa cantik. Hampir 25% remaja perempuan akan merasa bangga menang America's
Next Top Model daripada memikirkan untuk memenangi Nobel.
Karenanya memuji anak perempuan bahwa dia
cantik, akan membuatnya makin merasa betapa penampilan menjadi penting.
Bayangkan nanti dia sudah diet di usia lima, memakai bedak di usia 11, botoks
dan operasi payudara di usia 20-an. Apa yang hilang?
Mereka akan kehilangan makna hidup,
mengungkap sebuah gagasan dan membaca buku untuk mengembangkan pemikiran dan
pencapaiannya. Bloom berkisah, suatu kali ia pernah bertemu dengan anak
perempuan temannya berusia lima tahun yang cantik bernama Maya. Rambutnya
terurai, matanya indah, dan gaun warna pink yang manis.
Seketika ia ingin sekali teriak "Maya,
kamu cantik sekali, coba lihat dan berputar". Namun, ia urungkan dan ia
tahan niatan itu. Meskipun itu adalah hal yang biasa untuk memuji seorang anak
perempuan, sekaligus mencairkan suasana, dia punya alasan lain.
Lalu, bagaimana baiknya? Lisa lalu mengajak
Maya, untuk bicara hal lain daripada sekedar memuji.
"Hai Maya, senang bertemu
denganmu," sembari menatap mata Maya.
"Senang bertemu denganmu juga,"
ujarnya dengan kalem seperti orang dewasa.
"Apakah kamu suka membaca?"
ujarnya lagi. Maya diam sebentar. "Aku menyukai buku, apakah kamu juga
suka buku," lanjutnya.
"Ya. dan aku bisa membacakannya
untukmu," jawab Maya akhirnya.
Maya lalu benar-benar membacakan buku
pilihannya dengan lantang. Kisah tentang seorang tokoh perempuan yang menyukai
warna pink melawan sekelompok anak jahat yang kerap memakai warna hitam.
Tidakkah buku ini juga mengajarkannya betapa sosok perempuan dilihat dari
penampilan daripada karakternya. Maya juga kerap membandingkan mana yang lebih
cantik, tubuhnya lebih ramping dan pakain yang paling bagus.
Lisa lalu mengajak Maya untuk di kemudian
hari memilih buku yang lain jika nanti mereka bertemu lagi. Dari sini diketahui
bahwa betapa susahnya nanti mendidik anak perempuan untuk mengajarkan mereka
betapa penampilan mestinya tidaklah hal yang utama. Namun, di tengah kepungan
industri kecantikan, produk perawatan, kompetisi perempuan cantik sejagad dan
budaya selebriti lainnya, usaha mengajari mereka harus dua kali lipat lebih
besar.
Setidaknya jika suatu saat nanti Anda
bertemu seorang anak perempuan, termasuk anak Anda sendiri, usahakan jangan
buru-buru memuji penampilannya. Akan lebih baik mengajak mereka untuk berpikir
dan bertanya sesuatu tentang apa yang ia baca.
Apakah ia menyukai buku itu atau tidak, dan
mengapa? Dari sini pembicaraan akan berkembang sekaligus mengembangkan pola
pikir dan inteligensia mereka. Sehingga bisa mengubah cara berpikir anak
perempuan bahwa menjadi pintar lebih penting daripada sekedar cantik.
Selamat mencoba!
Diteruskan oleh
1. @yasirmukhtar
2. @urfaqurrotaainy